Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Washington DC. Suasana di dalam Situation Room, Gedung Putih, Washington DC, Amerika Serikat(AS) dipenuhi ketegangan saat Presiden AS Donald Trumpmenyetujui rencana serangan ke Iran sebelum kemudian membatalkannya di menit-menit akhir. Salah satu anggota parlemen AS menyebut Trump terlihat 'menderita' saat itu.
Seperti dilansir CNN, Sabtu (22/6/2019), sejumlah anggota parlemen AS ikut hadir di Situation Room saat rapat pengambilan keputusan untuk serangan militer ke Iran digelar pada Kamis (20/6) waktu setempat. Serangan itu dimaksudkan sebagai balasan atas aksi Iran menembak jatuh drone militer AS, Global Hawk RQ-4.
Sebagai 'commander-in-chief' atau panglima tertinggi AS, Trump saat itu harus mengambil keputusan berat yang bisa berdampak sangat besar.
Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri Senat AS, James Risch, menyebut Trump saat itu tampak fokus 'menggali' perspektif dan argumen berbeda yang disampaikan oleh para anggota parlemen juga penasihat-penasihat keamanannya. Namun satu hal yang pasti, sebut Risch, Trump adalah presiden yang 'tidak ingin berperang'.
"Saya sungguh-sungguh melihatnya menderita atas semua ini. Semuanya (keputusan) mengerucut pada satu pria," sebut Senator Idaho dari Partai Republik ini kepada sekelompok kecil wartawan saat menceritakan momen yang disaksikannya di dalam Situation Room.
"Presiden sungguh bergumul atas ini," timpal Ketua Komisi Angkatan Bersenjata House of Representatives (HOR) AS, Adam Smith, dari Partai Demokrat.
Dilema yang dirasakan Trump berhadapan dengan tim keamanan nasionalnya yang nyaris sepenuhnya meyakini AS harus membalas Iran yang menembak jatuh drone militer AS di Selat Hormuz. Serangan militer via udara terhadap sejumlah target Iran diyakini sebagai balasan yang pantas oleh tim keamanan nasional Trump.
Trump Dengarkan Banyak Argumen dan Pendapat
Laporan CNN menyebut Trump tak hanya mendengar pendapat tim penasihat keamanan nasionalnya, saat dirinya mempertimbangkan opsi-opsi yang ada. Trump juga berbicara dengan penasihat-penasihat di luar Gedung Putih juga anggota-anggota parlemen AS yang ramah dengannya. Para anggota parlemen AS, sebut CNN, terus mengingatkan Trump akan janjinya untuk mengeluarkan AS dari perang tak berkesudahan di Timur Tengah dan mendorongnya tetap menahan diri.
Namun saat Trump berhadapan dengan waktu pengambilan keputusan, dia sekali lagi dikelilingi oleh para penasihat keamanan yang ditunjuknya sendiri, yang mendorong posisi garis keras terhadap Iran, mulai dari menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran hingga memberlakukan kembali sanksi-sanksi terhadap Iran.
Opsi yang diberikan kepada Trump saat itu adalah: serangan udara terhadap tiga target militer Iran yang terdiri atas sejumlah radar dan baterai rudal. Serangan itu rencananya akan dilakukan pada Jumat (21/6) subuh waktu Iran atau Kamis (20/6) malam waktu AS.
Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih, John Bolton, bersama Wakil Presiden AS Mike Pence dan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mendukung rencana serangan militer ke Iran. Dalam argumennya, menurut CNN, Bolton dan para penasihat lainnya memberitahu Trump bahwa kegagalan menghukum Iran yang menembak jatuh drone AS akan dipandang sebagai 'izin' oleh Iran dan negara-negara lain untuk terus berperilaku buruk.
Pembahasan itu juga mengulas soal risiko semakin meluasnya ketegangan di Timur Tengah jika serangan militer AS dilancarkan. Namun risiko itu, sebut CNN, dipandang sebagai dampak dari sebuah langkah penting.
Trump pun sepakat untuk melakukan serangan militer ke sejumlah target Iran. Pada Kamis (20/6) malam, antara pukul 19.00 hingga 20.00 waktu AS, personel-personel militer AS di kawasan Teluk melakukan persiapan akhir untuk serangan udara.
Dalam hitungan menit sebelum serangan dilancarkan, Trump sekali lagi bertemu dengan tim penasihat dan jajaran pejabat militer AS. Ini menjadi kesempatan terakhir Trump sebagai Presiden AS untuk menyatakan keberatan atas operasi militer itu dan membatalkannya. Momen ini diceritakan Trump dalam wawancara terbaru dengan program NBC 'Meet the Press'.
"Mereka datang sekitar setengah jam sebelumnya. Dan mereka berkata, 'Pak, kami siap. Kami membutuhkan keputusan.' Saya katakan, 'Saya ingin tahu sesuatu sebelum Anda pergi. Berapa banyak orang yang akan tewas, dalam hal ini, warga Iran?'" tutur Trump merujuk pada jajaran pejabat tinggi militer AS.
"Mereka berkata -- datang kembali, mereka berkata, 'Pak, kira-kira 150 (orang tewas).' Dan saya berpikir sejenak dan saya berkata, 'Anda tahu, mereka (Iran-red) menembak jatuh sebuah drone tanpa awak, pesawat, apapun namanya. Dan di sini, kita duduk dengan (membahas) 150 orang tewas.' Saya tidak menyukainya. Saya pikir -- saya pikir itu tidak sepadan," terang Trump soal alasan yang mendasarinya membatalkan rencana serangan itu.
Dituturkan seorang pejabat senior AS bahwa selama proses pengambilan keputusan, Trump sangat terlibat dan sangat serius. Trump, sebut pejabat itu, sangat memahami bahwa militer tidak bisa memprediksi apa respons Iran jika serangan dilancarkan dan tetap menjadi perhatian penting untuk tak memperluas perang.
Jajaran militer AS disebut merasa lega karena Trump tidak mengambil keputusan penting, yakni melancarkan serangan, yang didasari ketidakpastian.
Terlepas dari semuanya, sebut pejabat senior tersebut, Trump belum mengesampingkan opsi aksi militer secara keseluruhan. "Itu menjadi opsi yang dipertahankan Presiden setiap saat," ucap pejabat yang enggan menyebut namanya itu kepada CNN. "Itu sungguh-sungguh panggilan Presiden," kata dia.(dtc)