Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) menilai bahwa tiga tahun setelah Presiden Joko Widodo merilis Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2016 tentang badan otorita pengelola kawasan pariwisata Danau Toba dan membentuk Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT), perwujudan cita-cita besar pariwisata di Sumatera Utara masih sebatas isapan jempol.
Kendati sudah terdapat perjanjian kerjasama investasi sebesar 400 juta dolar (setara Rp 6,1triliun), berbagai pekerjaan yang direncanakan masih mangkrak. Akibat terkendala banyak permasalahan. Seperti, masalah pelepasan lahan yang tidak kunjung tuntas dan menyebabkan kerugian masyarakat.
Mensikapi kenyataan tersebut, Pengurus Pusat GMKI Koordinator Wilayah Sumatera Utara-Aceh, Gito Pardede, mengingatkan pemerintah khususnya pengurus BPODT agar lebih serius.
Ungkap Gito, hingga saat ini pembenahan kawasan Danau Toba baik di bidang infrastruktur maupun pengembangan potensi yang ada belum terlihat kemajuan. Dengan berbagai permasalahan pelepasan lahan yang menjadi konflik utama. Contohnya, sebagian lahan pengembangan pariwisata Danau Toba yang berada di Desa Motung masih menghadapi sengketa. Di Ajibata terdapat tuntutan masyarakat atas lahan milik mereka yang belum terealisasi.
"Sejauh ini BPODT hanya melakukan agenda yang tidak signifikan. Pelepasan lahan di Sibisa tidak ada yang jelas. Hanya ada promosi kecil-kecilan dengan membuat festival-festival yang tidak cukup bermanfaat untuk membuat Danau Toba menarik sebagai pusat pariwisata," ujar Gito dalam pernyataannya kepada medanbisnisdaily.com, Sabtu (6/7/2019).
Jelasnya, sejak munculnya wacana menjadikannya sebagai The Monaco of Asia, GMKI lebih fokus memperhatikan masa depan Danau Toba. Keseriusan tersebut diperlihatkan dengan berkali-kali menghadirkan Dirut BPODT, Arie Prasetyo, dalam berbagai dialog.
GMKI mendesak agar BPODT memiliki kejelasan rencana kerja kedepan. Karena terkait masalah ekosistem lingkungan yang besar, kemanusiaan dan warisan adat para leluhur, BPODT diminta lebih serius menangani pembangunan pariwisata Danau Toba. Jangan sampai yang dilakukan BPODT berubah menjadi pemborosan anggaran.
Sebagai pengelola kawasan Danau Toba, papar Gito, BPODT harus memastikan melakukan pengembangan dengan pendekatan ekowisata (eco-tourism). Yaitu pengembangan parawisata dengan menjaga kelestarian lingkungan dan melibatkan pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat di sekitar Danau Toba. Serta pengembangan dengan menjaga kearifan lokal dan warisan tradisi budaya setempat.
"Membangun peradaban pariwisata di Danau Toba tanpa memikirkan aspek ekologis, kemanusiaan dan kearifan lokal hanya akan membuat kawasan Danau Toba menjadi objek wisata mati yang kehilangan jatidirinya. Jangan sampai BPODT hanya jadi badan yang membuang-buang anggaran triliunan rupiah tanpa hasil yang jelas," tegas Gito.