Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Judul sekaligus pernyataan di atas tersebut saya kutip dari Bapak Budi Waluyo, selaku Deputi Gubernur Bank Indonesia saat menyampaikan pandangannya dalam desiminasi yang dilakukan oleh BI di Medan. Kondisi perekonomian tanah air maupun global pada umumnya memang menunjukan adanya pola pola realisasi kinerja yang tidak konsisten.
Bahkan dalam beberapa case tertentu, proyeksi dari sejumlah analis kerap berubah-ubah, atau bahkan dari satu lembaga dengan lembaga lain tidak sama dalam memperkirakan pertumbuhan ekonomi ke depan. Sebagai contoh, sejumlah lembaga pemeringkat internasional memberikan outlook yang baik terhadap kinerja ekonomi Indonesia ke depan.
Di sisi lain, IMF memotong ekspektasi pertumbuhan ekonomi global baru-baru ini. IMF memangkas pertumbuhan ekonomi di tahun 2019 menjadi 3,2%. Padahal di April tahun ini, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global itu bisa tumbuh 3,3%. Nah, di tahun 2020, IMF memang memperkirakan pertumbuhan ekonomi global naik menjadi 3.5%, namun tetap saja ekspektasi pertumbuhan ekonomi tersebut masih lebih rendah dari perkiraan sebelumnya sebesar 3,6%.
Sejumlah analis memperkirakan bahwa Indonesia masih akan terjebak dalam pertumbuhan ekonomi di kisaran 5%. Tidak jauh berbeda dengan ekspektasi IMF yang memperkirakan negara di ASEAN akan tumbuh di kisaran 5% di 2019 dan 5,1% di 2020. Jadi kita melihatnya itu begini, bagaimana caranya sejumlah lembaga pemeringkat internasional mengatakan bahwa kita mampu tetap tumbuh, sementara ekonomi global justru di pangkas?
Padahal Indonesia sendiri ekonominya juga bergantung dari konsumsi global, yang dalam konteks ini direfleksikan dengan ekspektasi pertumbuhan ekonomi global itu sendiri. Bagaimana mungkin kita tidak bersandar dari pertumbuhan ekonomi global, sementara ekspor komoditas kita menjadi salah satu motor penggerak perekonomian.
Bagaimana mungkin kita menggenjot ekspor kita, sementara negara tujuan ekspor justru masih berkecamuk dengan pertumbuhan ekonomi yang trennya itu mengalami penurunan. Cina, Eropa, India yang menjadi negara tujuan ekspor kita terus mengalami perlambatan pada pertumbuhan ekonominya. Jelas di sini kita masih akan tertekan dari perlambatan ekonomi global yang membuat kita sulit untuk keluar dari jebakan pertumbuhan 5%.
Namun, jika melihat sejumlah realisasi pertumbuhan ekonomi global yang suram, semestinya kita mensyukuri Indonesia masih mampu tumbuh di kisaran 5%. Meskipun angka realisasinya cenderung stagnan, tetapi pertumbuhan sebesar itu masih patut untuk diapresiasi, mengingat ada tekanan hebat pada sejumlah negara lain, khususnya negara berkembang yang justru saat ini masuk dalam kubangan krisis.
Ke depan, kita masih akan dihadapkan dengan ketidakpastian ekonomi global seiring dengan memanasnya hubungan dagang sejumlah negara. Tidak bisa dipungkiri, sejak AS di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, kita melihat ada begitu banyak kebijakan yang sangat merugikan ekonomi global belakangan ini.
Perang dagang yang masih berpeluang berlanjut memperburuk pandangan keyakinan kita untuk melihat perkembangan ekonomi nasional ke depan. Perang dagang bisa saja semakin memperburuk neraca perdagangan nasional, melemahkan kinerja ekspor nasional, memperlambat investasi di tanah air, menekan daya beli masyarakat, hingga menjadi penghambat dalam proses pembuatan kebijakan.
Perang dagang akan menjadi salah satu sumber utama ketidakpastian ekonomi global ke depan. Selanjutnya adalah kesepakatan BREXIT di Eropa yang cenderung tidak membuahkan hasil apapun sejauh ini. BREXIT menjadi salah satu masalah besar yang memicu terhambatnya akselerasi pertumbuhan ekonomi di Eropa.
Ekonomi di Eropa tidak kunjung mengalami pemulihan setelah sebelumnya sempat terimbas dari krisis subprime mortgage di tahun 2008 silam. Eropa tidak kunjung mengalami pemulihan dan justru terjebak dalam keputusan politik (BREXIT) yang justru berpeluang memunculkan resiko ekonomi yang lebih besar di negara eropa.
Ketidakpastian selanjutnya adalah jika kita melihat perkembangan ekonomi sejumlah negara berkembang, yang belum lama ini justru mengalami tekanan setelah AS melakukan perang dagang, baik secara langsung maupun negara berkembang yang hanya terkena imbasnya saja. Katakanlah Turki, negara ini sempat kedodoran dalam mengelola mata uangnya yang melemah seiring dengan tekanan hebat pada mata uang lira sebelumnya. Dan memburuknya hubungan Turki dengan AS.
Sejumlah negara lain, seperti Argentina, Venezuela dan beberapa negara berkembang lain juga akan menjadi tolak ukur dalam memperkirakan pertumbuhan ekonomi ke depan. Dan lagi-lagi belum bisa dikonfirmasi apakah sejumlah negara berkembang tersebut akan benar-benar mampu keluar dari tekanan di tahun ini atau di tahun 2020.
Sumber ketidakpastian ekonomi global saat ini juga menyeret pelemahan pada sejumlah harga komoditas dunia yang menjadi malapetaka pada pelemahan harga komoditas unggulan di Sumatra Utara. Sawit beserta sejumlah produk turunannya yang dikembangkan di Sumut menyumbang sekitar 65% perekonomian di Sumut.
Harga sawit itu sendiri sempat mengalami keterpurukan di tahun 2018 dan mencapai titk nadir kisaran Rp 500-Rp 700/kg, saat AS terus melancarkan upaya kenaikan tarif terhadap produk dari Cina. Namun setelah sempat ditunda pemberlakukan tarif oleh kedua negara harga sawit kembali naik di kisaran Rp 1.000-Rp 1.300 di tingkat petani.
Akan tetapi kesepakatan penundaan tersebut tidak bertahan lama, setelah AS dan Cina kembali buntu dan sikap saling serang kembali ditunjukan. Harga sawit di tahun berjalan 2019 kembali mengalami penurunan. Tercatat harga CPO selama tahun 2019 sempat diperdagangkan di kisaran 2.300-an saat ini hanya bergerak di kisaran 1.930-2.000 ringgit per tonnya.
Dan lagi-lagi harga sawit berfluktuasi di tingkat petani. Harga sawit saat ini paling rendah di kisaran Rp 600-Rp 700/kg. Di sisi lain, harga karet harganya tak kunjung mengalami pemulihan di kisaran Rp 6.000-Rp 7.000/kg, dan harga karet di bursa masih dijual di kisaran 185-200 yen/kg.
Ketidakpastian ekonomi global belakangan yang memperlambat pertumbuhan ekonomi global, bukan hanya mengakibatkan gangguan pada sejumlah indikator ekonomi makro nasional. Namun lebih dari itu menjadi pemicu melemahnya daya beli masyarakat Sumutyang mengakibatkan penurunan belanja rumah tangga di wilayah ini.
*Penulis adalah pengamat ekonomi, alumni UGM Yogyakarta, bekerja sebagai dosen dan analis di salah satu perusahaan sekuritas di Kota Medan.