Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Masyarakat banyak mengenal e-Money melalui sejumlah alat pembayaran yang diwajibkan, seperti penggunaan e-money untuk menggunakan jalan tol, kereta api, bus (transjakarta), MRT di Jakarta atau di Palembang. Dan masyarakat juga kerap menggunakan e-money guna kepentingan belanja, seperti Go Pay (bisa untuk belanja maupun penggunaan jasa Go Jek), kartu kredit, debit maupun bentuk uang elektronik lainnya yang kerap memudahkan masyarakat dalam berbelanja.
Namun, banyak masyarakat yang justru menilai kehadiran e-money ini dinilai sebagai produk riba, karena e-money diterbitkan oleh perusahaan yang tidak syariah atau konvensional. Meskipun pada dasarnya tidak semua produk dari perusahaan atau bank konvensional itu pasti produk haram. Padahal pembayaran listrik, telepon, maupun sejumlah produk keuangan konvensional yang berbasiskan biaya atau fee base income lainnya tidak bisa serta merta dijustifikasi sebagai produk haram karena mengandung unsur riba.
Pemahaman seperti ini perlu diluruskan terlebih dahulu. Agar masyarakat tidak terbawa arus informasi yang menyesatkan dan cenderung mengeneralisir suatu persoalan secara serampangan. Seperti sudah pasti bank konvensional itu semua produknya haram, atau sudah barang pasti sekalipun ada bank syariah tetapi tidak dijamin kehalallannya.
Tidak jarang isu-isu agama seperti ini kerap disuarakan oleh pihak pihak tertentu yang dinilai tidak proporsional dalam menyampaikan padangannya. Dan kerap isu-isu agama ini dijadikan “bahan bakar” untuk mempropaganda maupun memprovokasi masyarakat oleh oknum tertentu berkedok agama, terlebih saat musim pemilihan umum.
Balik lagi ke tema, dalam tulisan ini penulis akan membahas terlebih dahulu penggunaan e-money yang banyak digunakan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan penggunaan jalan tol, kereta api, bus ataupun MRT. Untuk e-money yang berbentuk lainnya, insyaallah akan di bahas dalam tulisan lainnya.
Nah, masyarakat yang menilai bahwa produk e-money yang dikeluarkan adalah haram karena ada riba di dalamnya, maka yang perlu dipastikan adalah kita memahami terlebih dahulu apa itu riba. Sebelum jauh membahas hal-hal yang bisa dikategorikan sebagai riba atau bukan.
Jika mengacu kepada pengertian riba menurut Wikipedia: Riba adalah penetapan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna ziyadah. Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar.
Kalau menurut Ustaz Ahmad Ifham Sholihin, kutipan kitab I'anah ath Thalibin Syarah Fath al Mu'in Juz 3 Halaman 53, Terbitan Singapore, 1960-an, beliau memaparkan logika riba itu adalah ketika ada pinjaman yang bersyarat, serta memberikan aliran manfaat bagi yang memberikan pinjaman. Disitulah dikatakan bahwa transaksi tersebut adalah riba.
Sekarang kita masuk kepada logikanya. Misal ada yang menabung di suatu bank, uang yang ditabung dipersyaratkan dengan bunga dalam presentase tertentu, dan penabung tadi jelas mendapatkan keuntungan, maka jatuhnya riba. Sama halnya dengan pinjaman, di mana pemberi pinjaman ini melakukan perjanjian utang piutang dengan syarat bunga, dan pemberi pinjaman tadi mendapatkan manfaat alias keuntungan dari pinjaman tersebut.
Nah bagi penabung, riba membuat yang nabung uangnya bertambah besar. Selanjutnya kita masuk ke logika e-money untuk jalan tol. Misalkan A membeli kartu e-money dan melakukan pengisian saldo. Dalam konteks ini A bisa dikatakan menyimpan uangnya di bank konvensional. Tetapi uang yang ada di dalam kartu tersebut tidak bertambah banyak.
Uangnya justru berkurang saat digunakan membayar tol. Berarti A itu sendiri tidak mendapatkan manfaat dari penggunaan e-money tersebut, khususnya dalam bentuk penambahan saldo. Dalam konteks ini, A jelas tidak mendapatkan keuntungan atau manfaat, Jadi A pada dasarnya bebas dari riba dalam transaksi tersebut.
Selanjutnya, saat A membeli kartu e-toll (e-money) tersebut, A membayar jumlah uang yang lebih besar dari jumlah isi saldonya. Katakanlah ada yang menjual kartu e-toll seharga 50.000, namun isi saldonya hanya 30.000. Ini hanya transaksi dagang biasa. Si penjual kartu menjualnya melebihi besaran saldo ini kan lumrah. Setidaknya ada beberapa alasan yang mendukung.
Pertama, bank penerbit kartu juga membutuhkan modal ataupun biaya dalam pencetakan kartu e-toll tersebut. Jadi kalau harganya sudah melampaui besaran saldonya ini kan biasa. Kedua, pedagang yang menjual kartu e-toll, katakanlah Alfamaret, Indomaret, perseorangan atau toko kelontong lainnya tentunya mereka juga mengambil keuntungan di situ. Ini kan transaksi dagang biasa, akadnya jual beli atau murabahah.
Jadi lagi lagi itu hanya transaksi muamalah atau dagang biasa saja. Dan tidak ada dalil yang melarang dalam mengambil keuntungan setiap transaksi jual beli. Mau ambil 10%, 5%, 100% silahkan saja. Tidak ada dalil yang melarang. Tetapi terkadang aturan dari pemerintah NKRI itu kerap membatasi keuntungan dalam range tertentu. Dan tentunya hal tersebut juga tidak bertentangan secara syariah.
Nah kalau si A melakukan top up dana, katakanlah menambah saldo sebesar 100.000, namun dikenakan biaya sebesar 1.000. Sehingga untuk melakukan top up dana sebesar 100.000 dibutuhkan uang sebesar Rp 101.000. Ini juga hanya transaksi dagang biasa. Besaran uang tambahan Rp 1.000 (biaya) ini kan bisa saja menjadi biaya mesin top up bank penerbit, menjadi gaji buat yang ngelayani kita saat melakukan top-up, bisa juga dijadikan biaya dalam operasional teknologi yang mendukung terlaksananya penggunaan e-toll dan lain sebagainya.
Jadi pada dasarnya kartu e-toll ini tidak bertentangan dengan syariah, sekalipun diterbitkan oleh bank konvensional. Nah jika kartu tol ini diterbitkan oleh bank syariah, maka akadnya itu bentuknya adalah titipan. Bisa saja qardh kalau seandainya titipan tersebut tidak digunakan. Tetapi mungkinkah titipan tersebut tidak digunakan pihak bank?
Pengalaman saya dalam mengelola kas perbankan, saya berkeyakinan bahwa uang tersebut tetap bisa digunakan oleh bank. Meskipun saldo yang tertera dalam e-money tersebut tetap saja angkanya tidak berubah saat tidak digunakan. Jadi memang sekilas uang yang kita titipkan di e-toll atau e-money pada umumnya tidak digunakan oleh bank.
Tetapi inshaallah saya akan bahas nanti di tema yang lain. Termasuk juga bahasan mengenai e-money yang lebih kompleks kajian fikihnya, yakni e-money yang digunakan untuk belanja. Karena ada potongan harga, diskon, tambahan poin dan sejumlah tawaran menggiurkan yang membuat banyak orang menilai transaksi seperti itu dikategorikan riba. Dan insyaallah akan ada bahasan mengenai transaksi jual beli uang, karena e-money dikatakan sebagai uang elektornik, jual belinya jelas dengan uang dan menjadi uang elektronik.
*Penulis artikel adalah pengamat ekonomi, mahasiswa S3 jurusan ekonomi syariah UIN Sumatera Utara