Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Ada kebiasaan masyarakat adat Tornauli, Kecamatan Parmonangan, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatra Utara dalam merawat dan memelihara keseimbangan alam mereka. Salah satunya dengan menggelar ritus marhotas. Marhotas merupakan sebuah ungkapan syukur kepada Tuhan sekaligus penghormatan kepada alam yang selama ini telah memberikan mereka kehidupan.
Masyarakat adat Tornauli sendiri sebagian besar bekerja sebagai petani kemenyan. Marhotas pun mereka gelar sebagai cara membangun komunikasi dengan apa yang mereka sebut sebagai "tondi ni haminjon (roh kemenyan). Ritus ini pun mereka gelar di kawasan hutan kemenyan di desa mereka, Senin (29/7/2019).
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, yang terlibat dalam acara itu, Roganda Simanjutak, kepada medan bisnisdaily.com, Senin malam (29/7/2019) menjelaskan, kemenyan bagi masyarakat Tornauli tidak hanya penting secara ekonomis, tetapi juga dari sisi budaya.
"Kemenyan dan masyarakat adat Tornauli terikat dalam satu hubungan spiritual yang tetap dijaga hingga sekarang ini."
Roganda menjelaskan, masyarakat adat Tornauli meyakini kemenyan memiliki tondi yang telah menunjukkan tanggungjawabnya dengan memberikan getah, kepada manusia. Karena itu, manusia juga harus menjalankan tanggungjawabnya dengan menjaga hutan kemenyan itu. Dengan begitu, menurut saya, sambung Roganda, marhotas adalah ritual penguatan yang meneguhkan relasi antar manusia dengan pohon kemenyan sebagai sumber kehidupan bagi mereka.
"Secara logis, satu pohon kemenyan mampu melindungi 10 pohon lain di sekitarnya dari cahaya matahari yang berlebihan, dengan begitu ekosistem hutan dapat terjaga," kata Roganda.
Mengawali ritus ini, sejumlah sesaji yang telah dikumpulkan bersama, didoakan dari kampung mereka. Sesaji yang utama berupa ittak gurgur yang melambangkan kemakmuran dan ikatan persaudaraan. Kemudian masing-masing masyarakat membawa sesaji yang telah didoakan itu ke dalam hutan dan diletakkan di dekat pohon kemenyan, sebelum kemudian dimakan bersama-sama.
Setelah makan bersama, dilanjutkan dengan prosesi menyadap getah kemenyan. Mereka pun bersenandung “parung simardagul-dagul… sahali mamarung, gok appang gok bahul-bahul." (ungkapan agar mendapat getah kemenyan yang banyak).
"Yang paling penting, dalam proses penyadapan kemenyan itu, para petani tidak boleh berkata kotor dan menjaga hati tetap bersih, agar getah kemenyan yang dihasilkan berkualitas baik dan berlimpah. Menurut kepercayaan masyarakat adat Tornauli, kemenyan merupakan perwujudan seorang gadis atau boru ni raja yang mesti dihormati dan kadang dirayu untuk mendapatkan kemurahan hatinya," kata Roganda.