Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Keluarga M Yasin, korban meninggal saat pengungkapan 81,8 kg sabu dan 102.657 butir pil ekstasi oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) beberapa waktu lalu telah memutuskan untuk menempuh jalur hukum. Karenanya, melalui laporan polisi bernomor STTLP/989/VII/2019/Sumut/Spkt III tanggal 15 Juli 2019 di Polda Sumut, keluarga sangat berharap agar kasus ini bisa diusut secara tuntas dan pelaku diadili sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku.
Namun, Staf Advokasi/Kuasa Hukum KontraS Sumut, Ali Isnandar SH menyayangkan, upaya keluarga untuk mendapatkan keadilan masih belum menemukan titik terang. Kendati laporan mereka telah berjalan sekitar 3 minggu, tetapi pihak kepolisian belum mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (SPDP) atas perkara yang dilaporkan.
"Situasi demikian memberi kesan bahwa kinerja kepolisian lamban dalam mengusut kasus ini," ungkapnya kepada wartawan, Selasa (6/8/2019).
Isnandar menjelaskan, hal ini dibuktikan dari cara penyidik melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang diajukan Pelapor. Sejauh ini penyidik telah melakukan pemeriksaan terhadap 2 orang saksi yang diajukan oleh pelapor pada 26 Juli 2019 di Ditreskrimum Polda Sumut, namun pemeriksaan yang seharusnya dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) malah dituangkan dalam Berita Acara Introgasi.
"Padahal sebenarnya frasa berita acara introgasi ini tidak ada ditemukan baik di dalam KUHAP maupun di dalam Perkapolri, melainkan yang ada hanya Berita Acara Pemeriksaan," jelasnya.
Selain itu, lanjut dia, mengenai kewajiban penyidik untuk membuat BAP ketika melakukan pemeriksaan saksi dapat ditemukan di dalam Pasal 63 ayat (1) Perkap No 14/2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Didalam pasal tersebut dijelaskan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf (d) dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu terhadap saksi, ahli, dan tersangka yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh penyidik/penyidik pembantu yang melakukan pemeriksaan dan orang yang diperiksa.
"Cara seperti ini memungkinkan akan terjadinya pemanggilan berulang kali terhadap para saksi yang tentu saja memperlambat proses pengungkapan kasus. Disamping itu juga akan menyita banyak waktu dari para saksi yang diminta untuk memberikan keterangan. Belum lagi mayoritas saksi bertempat tinggal di Batubara, dimana untuk memenuhi panggilan penyidik saksi harus melakukan perjalanan jauh dan menyita banyak waktu," terangnya.
Tidak jauh beda, timpal Isnandar, pihak BNN yang katanya juga telah melakukan penyelidikan/penyidikan Internal dalam perkara ini juga belum memberikan klarifikasi dan permintaan-maaf secara terbuka kepada keluarga korban. Begitu juga dengan lembaga-lembaga negara seperti Komnas HAM dan LPSK yang telah disurati oleh keluarga korban melalui KontraS, sejauh ini belum ada mengambil langkah dalam rangka membantu korban mendapatkan keadilan.
"Apa yang dialami keluarga M Yasin merupakan salah satu bukti sulitnya korban kekerasan aparat keamanan untuk menuntut keadilan. Padahal mekanisme hukum sudah memberikan peluang bagi para korban untuk menuntut apa yang menjadi haknya," sebutnya.
Menurutnya, proses pengungkap kasus ini tentu tidak terlepas dari faktor keseriusan aparat hukum sendiri, profesionalitas, independensi serta tanggungjawab dalam menjalankan tugas negara. Untuk itu, tutur dia, KontraS Sumut bersama keluarga korban masih menaruh harapan besar kepada aparat penegak hukum, khususnya kepolisian untuk mengungkap tuntas kasus ini dan menjalankan proses hukum sesuai prosedur dan mekanisme yang berlaku.
"Demikan juga Komnas HAM dan LPSK kiranya dapat lebih serius memberikan perhatian terhadap kasus dugaan salah tembak yang menyebabkan hilangnya nyawa manusia ini. Jangan sampai hal-hal demikian justru menjadi persoalan biasa, di negara yang menjunjung tinggi hukum dan Hak Asasi Manusia seperti Indonesia," pungkasnya.