Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Masyarakat penikmat film di Medan menilai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 14/2019 tentang pedoman sensor film masih sangat bias. Kriteria sensor yang dipaparkan dalam Permen itu, dirasa justru terasa memberangus kreativitas.
Poin itu terungkap dalam acara Sosialisasi Permendikbud No 14/2019 yang digelar Lembaga Sensor Film (LSF) RI di Hotel Santika Dyandra, Jalan Kapten Maulana Lubis No 7, Medan, Jumat (9/8/2019).
Salah seorang peserta yang hadir di sosialisasi itu, Fikarwin Zuska, menyebut, kriteria pornografi maupun SARA yang menjadi pedoman LSF sangat bias.
"Misalnya ada film yang menceritakan orang makan babi. Apa itu SARA? Karena toh ada masyarakat yang mengkonsumsi babi," kata dosen Antropologi Universitas Sumatera Utara (USU) ini.
Hal sama juga disampaikan pegiat film Onny Kresnawan di Medan. Onny khawatir regulasi ini bisa menghambat kreativitas dan industri film, terutama di daerah-dserah yang memiliki banyak komunitas film.
Sebelumnya, Biro Hukum dan Organisasi Kemendikbud, Simul, menjelaskan, film-film yang disensor itu bila berkaitan dengan pornografi, kekerasan, SARA dan sebagainya. "Di Permen itu juga dibahas soal penggolongan usia dan jam tayang film," kata Simul.
Terhadap kritik Fikarwin itu, Simul mengatakan, pedoman dan kriteria itu sebenarnya berasal dari sejumlah pakar lintas bidang. Meski begitu, sambung Simul, kritikan itu akan dipertimbangkan.
"Sementara ini, karena ini sudah menjadi Permen, sebaiknya dijalankan dulu, meski tak tertutup kemungkinan direvisi," kata Simul.
Nih Luh dari LSF menambahkan, film-film dengan konten antropologi cenderung mereka loloskan, namun tetap ada penggolongan umur. "Film antropologi biasanya lolos, hanya saja ada penggolongannya dari sisi umur," jelas Nih Luh.