Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Bertubi-tubi. Begitulah, kiprah “gerakan” berbagai elemen di Sumatra Utara yang menuntut agar Danau Toba bersih dari Keramba Jaring Apung (KJA) yang dianggap telah mencemarkan danau nan molek itu.
Jumat (9/8/2019), Ketua Komisi D DPRD Sumut, Sutrisno Pangaribuan, didampingi Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sumut, Binsar Silitonga; Bupati Karo, Terkelin Brahmana, organisasi kemasyarakatan Horas Bangso Batak (HBB), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumut dan sebagainya bertemu dengan beberapa pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) di Jakarta.
Ternyata pihak Kementerian LHK menyetujui penutupan perusahaan budidaya ikan air tawar PT Aquafarm Nusantara dan PT Suritani Pemuka (JAPFA) serta milik masyarakat yang menggunakan KJA di perairan Danau Toba.
"Kita setuju saja PT Aquafarm Nusantara dan yang lainnya ditutup,” kata Direktur Pengendalian Pencemaran Air Direktorat Jenderal PPKL, Kementerian LHK Luckmi Purwandari dalam pertemuan tersebut. “Tinggal masyarakat dan pemerintah tujuh kabupaten di kawasan Danau Toba, apa mereka setuju," kata Luckmi.
Di hari yang sama, medanbisnisdaiy.com juga memberitakan bahwa Sutrisno Pangaribuan cs juga mendatangi Kementerian Koordinator Kemaritiman yang dipimpin Luhut Binsar Panjaitan. Tuntutan yang sama juga disuarakan.
Tak kepalang pula jika berbagai elemen masyarakat Sumut itu juga akan mendesak Presiden Jokowi agar mencabut Peraturan Presiden No 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba yang mengatur soal zonasi. Direncanakan hal itu akan dilakukan September mendatang.
"Tidak mungkin PT Aquafarm Nusantara dan perusahaan KJA lainnya dicabut izin usahanya jika masih ada Perpres tentang zonasi, kita akan mendesak Presiden mencabut aturan itu," ungkap Sutrisno.
Bahkan, anggota Komisi D Layari Sinukaban mengtakan bahwa Perpres No 81/2014 itu ibarat makelar bagi perusahaan perusak Danau Toba. Justru melegalkan Aquafarm dan lainnya mencemari Danau Toba.
Ketua Umum DPP HBB, Lamsiang Sitompul lebih ironis lagi. Dia menyatakan bahwa danau yang semula disebut-sebut sebagai kepingan surga tersebut menjadi toilet raksasa. Ada pula kotoran hewan dan limbah rumah tangga, melengkapi limbah KJA.
"Kami menginginkan Danau Toba kembali bersih demi terciptanya Danau Toba sebagai kawasan wisata kelas dunia,” tegas Lamsiang.
"Alhamdulillah, Puji Tuhan!," ujar Gubernur Sumut Edy Rahmayadi menjawab wartawan sekitar isu besar tersebut pada Jumat (9/8) lalu di Medan. “Saya yang menyurati menteri, saya yang ngomong sama Presiden. Pak tolong hentikan itu, tapi itukan kita tidak punya wewenang," ujar Edy.
Sebetulnya, ketika berkunjung ke kawasan Danau Toba pada 29 hingga 31 Juli lalu, Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah memastikan berbagai masalah terkait isu lingkungan tersebut akan diselesaikan oleh pemerintah.
“Sudah ada expert-nya, khusus untuk urusan air yang gatal,” kata Jokowi, Rabu (31/7) silam. Para ahli lingkungan tersebut akan melakukan kajian untuk mencari solusi. “Syukur enggak ditutup. Kalau ditutup ya itu memang kalau enggak ada solusi,” tandas Presiden.
Masih adakah solusi yang memungkinkan KJA terus bercokol di Danau Toba? Barangkali, baiklah ditunggu apa hasil kajian para expert tersebut.
Tapi suara yang bergaung dari kawasan Danau Toba, “Sudahlah, KJA cukup sampai di sini saja.” Suara ini sudah lama bergema. Pendek kata, “bola” kini di tangan Presiden Jokowi.
Dengan tetap mengapresiasi gerakan anti KJA itu, hendaklah dipikirkan nasib ribuan para pekerja di KJA milik perusahaan dan masyarakat. Juga di pabrik pengolahan ikan nila di Kabupaten Serdang Bedagai. Kasihan mereka akan menjadi pengangguran.
Saya kira, pelarangan pukat cantrang boleh dijadikan referensi. Cantrangnya go to hell, tapi kepada nelayan diberikan alat tangkap ikan yang produktif dan ramah lingkungan. Di sini senang, di sana pun senang.