Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
17 Agustus 1945 adalah momentum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang menyatakan kehadirannya sebagai sebuah bangsa dan negara. Padahal, jika ditarik jauh ke belakang, sejarah nusantara adalah kejayaan banyak kerajaan, seperti Sriwijaya dan Majapahit, Kesultanan Aceh dan Tidore. Namun perang saudara untuk perebutan wilayah kekuasan hingga intrik bercampur dengan masuknya misi dagang bangsa dan kerajaan Eropa, pada akhirnya menjerat nusantara ke dalam kolonialisme dan imprealisme, hingga melahirkan kisah perlawanan dari masing-masing daerah, seperti Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien (Aceh), Sisingamangaraja XII (Batak), Diponegoro (Jawa), Sultan Hasanuddin (Gowa) hingga Kapitan Pattimura (Maluku).
Rasa senasib sepenanggungan sebagai orang jajahan membawa kesadaran pentingnya persatuan perjuangan. Pergulatan yang akhirnya melahirkan konsensus bernama Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Sumpah yang menjadi cikal dan modal utama dalam memanfaatkan momentum kekosongan kekuasaan, pasca menyerahnya Jepang dalam perang dunia II akibat bom atom yang dijatuhkan AS di Hiroshima dan Nagasaki. Momentum untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia kepada dunia. Walaupun kemudian melahirkan tantangan dari pihak Sekutu dan Belanda, yang menginginkan perpindahan kekuasaan dari Jepang ke Belanda sebagai bagian dari pemenang perang dunia II.
Proklamasi yang melahirkan tindakan Agresi Militer 1947 dan 1948, mendorong lahirnya peristiwa Medan Area, Bandung Lautan Api, hingga Puputan Margarana, Dengan perjuangan bersenjata dan diplomasi akhirnya pada 27 Desember 1949 – atas desakan internasional – Kerajaan Belanda akhirnya mengakui kedaulatan negara yang dahulu mereka sebut sebagai Hindia Belanda. Puncaknya, Indonesia baik secara de facto maupun de jure diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai sebuah negara yang berdaulat pada 28 September 1950 melalui dokumen Resolusi Majelis Umum bernomor kode A/RES/491 Tahun Kelima Tentang Penerimaan Republik Indonesia dalam Keanggotaan di PBB.
Agustus 2019 adalah perayaan 74 tahun kemerdekaan, namun, benarkah kemerdekaan dalam bentuk kesejahteraan umum, kehidupan bangsa yang cerdas dan keadilan sosial itu telah hadir dalam perayaaannya? Sudahkah Indonesia menjadi bangsa unggul dan berdaulat di tengah persaingan bebas antar negara dalam era globalisasi? Sudahkah merdeka dari praktek korupsi yang mendarang daging dalam setiap sendi birokrasi, pelayanan publik dan politik? Sudahkah merdeka dari praktek intoleransi terhadap sesama anak bangsa, yang membangun garis pemisah karena perbedaan duku, ras dan agama ? Sudahkah negara hadir untuk memenuhi Hak dan Kewajiban setiap warga negara tanpa perbedaan?
Massifnya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme selalu menjadi keresahan tak berujung, walaupun ada peningkatan, berdasarkan rilis dari Transparency International Indonesia (TII) terkait indeks persepsi korupsi atau Corruption Perception Index (CPI) Global 2018, di mana, indeks persepsi korupsi Indonesia mencetak indeks 38, naik dari 2017 yang bertengger pada angka 37, dan berada di posisi 89 dari 180 negara. Namun hampir setiap minggu atau bulan media memberitakan terjadinya operasi tangkap tangan (OTT) dan banyak masyarakat masih harus berhadapan dengan praktek suap, korupsi dalam pengurusan administrasi dan perizinan.
Menguatnya penggunan politik identitas dalam setiap hajatan politik dari pusat hingga ke daerah sebagai strategi menarik simpati dan mendulang suara adalah wajah politik berbalut populisme yang membenturkan mayoritas dan minoritas. Membenturkan suku dan ras, hingga membenturkan pilihan agama dan keyakinan, strategi yang sangat rentan memicu konflik. Walaupun banyak diingkari oleh sebahagian kalangan atas nama hak dan tugas keyakinan, namun praktek intimidasi dalam pembangunan dan pelarangan rumah ibadah di beberapa daerah tertentu, hingga penolakan pimpinan berbeda keyakinan menjadi wujud nyata dari praktek intolerensi yang mewabah dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam Indeks Demokrasi Global (2018), Indonesia menempati peringkat 68 dari 167 negara, turun 20 peringkat dibanding 2016 dengan indeks total 6.39 dan masuk dalam kategori “ demokrasi cacat ” (flawed democracy). Demokrasi cacat maksudnya adalah negara yang dapat menyelenggarakan pemilu secara bebas dan adil, serta ada kebebasan sipil yang mendasar, tetapi ada kegagalan dalam beberapa aspek, seperti tingkat partisipasi publik yang rendah, serta budaya politik yang belum berkembang. Cacat akibat demokrasi yang belum bisa memberi kontribusi yang bermakna terhadap kebebasan warga negara, penegakan hukum, pemberantasan korupsi dan pengurangan kemiskinan serta kesenjangan ekonomi.
Bahkan dalam beberapa tahun terakhir memungkinkan masuk ke dalam fasekemunduran demokrasi atau democracy decline. Indikasinya maraknya gejala primordialisme, politik transaksional (money politic), radikalisme, diskriminasi dan korupsi. Kemunduran akibat pembajakan oleh sekelompok orang untuk melestarikan kekuasaannya sekaligus untuk meningkatkan kekayaannya, di mana posisi kekuasaan semakin berkelindan dengan kekayaan personal. Electoral war yang menghalalkan segala cara, menjadikan rakyat sebagai demos yang seharusnya berdaulat hanya dihitung sebagai angka dalam posisi tawar lemah pada setiap perhelatan pemilu yang transaksional atau lazim disebut oligarkhi elektoral.
Padahal berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila, demokrasi Indonesia seharusnya berakar pada kontekstualitas nilai- nilai sejarah dan budaya bangsa, yakni demokrasi kolektif yang berbasis pada kepentingan bersama melalui musyawarah, rapat, dan gotong-royong untuk mencapai permufakatan. Dalam kursus Pancasila (22 Juli 1958), Soekarno menekankan bahwa demokrasi Indonesia dibangun di atas kebersamaan, serta kekeluargaan, dan musyawarah dalam pemahaman rakyat secara monodualistik, yaitu makhluk kolektif dan individu.
Demokrasi dengan asas musyawarah untuk mufakat dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan itu merupakan corak yang berbeda dengan demokrasi mayoritas yang menekan minoritas dan demokrasi liberal yang mengabsahkan eksistensi oligarki dalam hukum the winner takes all. Demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan adalah yang bersumber dalam alam batin, pikiran dan jiwa bangsa yang religius sebagai cerminan kepribadian dan way of life bangsa ini.
Bahkan dalam pidato pada 1 Juni 1945, Soekarno menegaskan bahwa Indonesia bukan satu negara untuk satu orang. Bukan satu untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu.
Kemerdekaan seharusnya bukan sebatas perayaan apalagi simbolisasi, namun adalah evaluasi, terhadap implementasi praksis dan aktualisasi dari rumusan final konsensus kebangsaan yang tertuang dalam UUD 1945 dan Pancasila. Demokrasi Indonesia tidak semata demokrasi politik, melainkan demokrasi ekonomi-politik (politiek economische democratie). Demokrasi yang menjadikan keadilan sosial sebagai basis moral dan tujuan bernegara.
*Penulis adalah Direktur Perhimpunan Suluh Muda Indonesia/penggiat HAM dan demokrasi.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya . Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan identitas atau biodata diri singkat (dalam satu-dua kalimat untuk dicantumkan ketika tulisan tersebut dimuat). Panjang tulisan 4.000-5.000 karakter. Kirimkan tulisan dan foto (minimal 700 px) Anda ke [email protected]