Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Tekanan perekonomian global setelah AS menyatakan perang dagang dengan menaikkan tarif ke sejumlah negara mitra, membuat ekonomi global mengalami tekanan besar, yang mengakibatkan banyak negara berkembang justru masuk dalam resesi. Terakhir adalah Singapura, di mana pertumbuhan ekonominya direvisi mendekati 0. Singapura menjadi deretan negara terakhir sejauh ini yang terdampak dari perang dagang antara AS dan Cina.
Dan diyakini, jika tidak terdapat kesepakatan antara kedua negara tersebut dalam waktu dekat, maka masih akan ada lagi negara-negara lainnya yang akan mengalami resesi serupa. Dan kemungkinan tersebut akan semakin menjadi kenyataan jika perang dagang tersebut terus berlangsung untuk jangka waktu lama dan belum bisa ditentukan kapan akan berakhirnya.
Nah bagi ekonomi nasional, defisit neraca perdagangan yang membengkak, laju pertumbuhan ekonomi nasional yang masih tumbuh di kisaran 5%, inflasi yang masih stabil, rupiah yang mulai bergerak dalam rentang lebar dengan sedikit kecenderungan melemah, harga komoditas unggulan yang membentuk tren turun, menggambarkan bahwa kita masih cukup kuat meskipun tengah dalam posisi yang bukan sepenuhnya akan terhindar dari gejolak ekonomi eksternal.
Terlebih untuk wilayah Sumatra Utara, yang pada dasarnya juga tidak bisa dilepaskan dari dinamika ekonomi eksternal tersebut. Terlebih komoditas unggulan yang dihasilkan Sumut, baik harga maupun penjualannya sangat bergantung kepada negara lain. Harga komoditas yang ada di Sumut tidak bisa dilepaskan dari kinerja harga komoditas tersebut di pasar internasional, khususnya karet dan sawit.
Untuk komoditas sawit, di mana produknya adalah CPO dan beragam turunannya, pasar CPO dari sisi volume memang masih mengalami kenaikan dibandingkan dengan satu tahun yang lalu. Akan tetapi dari sisi harga cenderung mengalami penurunan belakangan ini. Harga CPO sejauh ini memang masih mampu bertahan di kisaran 2.100-an ringgit per ton, sementara volume permintaan (ekspor) masih mengalami kenaikan.
Tetapi, dengan harga CPO yang saat ini bertengger di kisaran 2.174 ringgit per ton, sementara harga sawit di tingkat petani masih di kisaran 900 per kg, menunjukan indikasi seperti ini. Volume ekspor yang mengalami kenaikan dan harga yang mengalami penurunan cenderung menekan harga di tingkat petani. Permintaan ditambah dengan persediaan yang tinggi, justru tidak diimbangi dengan harga yang mengalami kenaikan.
Alhasil, gap antara harga CPO di pasar global dan harga di tingkat petani semakin melebar. Hal tersebut tentunya akan sangat menekan kinerja harga sawit di tingkat petani. Oleh karena itu saya menilai apa yang akan menjadi pertimbangan selanjutnya adalah bagaimana kelangsungan harga CPO tersebut bagi petani dalam jangka panjang.
Dengan harga CPO yang di atas 2.100 saja, petani kita merasa harga tersebut belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan operasional tanaman maupun memenuhi kebutuhan lainnya seperti kebutuhan hidup petani. Karena petani menilai harga keekonomiannya itu ada di kisaran 1.200 rupiah per Kg.
Selanjutnya adalah karet. Nah karet ini justru harganya cukup linier, di mana permintaan dan harganya cenderung membentuk pola yang tidak jauh berbeda. Harga karet sejauh ini dijual di kisaran 174 yen per kg, atau sekitar $1,4/kg nya. Masih jauh dari harga ideal yang bisa diterima oleh petani kita, yakni sekitar $2/kg. Keterpurukan harga karet pada dasarnya sudah terjadi sejak lama, lebih dahulu dibandingkan dengan tren penurunan harga sawit.
Di tingkat petani, harga karet masih berkisar Rp 7.000-Rp 8.000/ kg. Masih jauh dari harga keekonomiannya di kisaran Rp 12.000/kg. San sayangnya, karet tidak seelastis sawit, di mana harga karet cenderung statis dan bertahan rendah untuk waktu yang cukup lama. Ini disinyalir karena karet tidak memiliki produk akhir (turunan) yang beragam layaknya sawit.
Setelah harga karet, kita berkaca kepada realisasi pertumbuhan ekonomi Sumut secara YoY. Di mana pertumbuhan ekonomi di Sumatra Utara merealisasikan angka 5,25%. Lebih tinggi memang, namun mengalami perlambatan atau penurunan. Kinerja pertumbuhan ekonomi sebesar itu memang sangat baik karena melampaui kemampuan rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional.
Walaupun masih ditopang oleh sejumah proyek pemerintah, yakni pembangunan infrastruktur di wilayah ini, saya menilai belanja pemerintah pusat tersebut mampu menjadi bumper bagi perekonomian di wilayah Sumut. Tidak terbayang kalau seandainya saja pertumbuhan ekonomi Sumut hanya mengandalkan komoditas unggulannya.
Hanya sayangnya, laju pertumbuhan ekonomi sebesar itu justru tidak dibarengi dengan kinerja laju tekanan inflasi yang baik. Justru inflasi secara YoY mengalami kenaikan yang sangat signifikan. Di mana inflasi justru bertengger di kisaran 5,8%, melebihi pertumbuhan ekonominya yang sebesar 5,25%. Jadi secara rill pertumbuhan ekonomi Sumut negatif.
Ekspektasi ke depan adalah bahwa perekonomian Sumut akan mengalami perlambatan. Saya menilai kinerja perekonomian Sumut akan sangat terganggu dengan kondisi ekonomi global. Di mana jika perang dagang terus berlanjut, harga komoditas Sumut akan terombang ambing. Indikasi perang dagang bukan hanya satu satunya.
Ada lagi ancaman perang mata uang atau currency war yang bisa saja kembali menekan kinerja perekonomian global. Hal ini sangat merugikan perekonomian Sumut seandainya tidak dilakukan mitigasi segera. Dan mitigasi tersebut bisa dilakukan dengan beberapa hal pokok yang bisa dilakukan.
Di antaranya adalah segera menyerap anggaran belanja pemerintah daerah dan pusat agar pembangunan tetap berjalan. Menekan laju tekanan inflasi khususnya di tingkat petani karena tingginya inflasi saat ini lebih dipengaruhi oleh masalah sisi persediaan. Gangguan pada tanaman harusnya diatasi dengan menurunkan dinas terkait untuk mengatasinya.
Memberikan jaminan sosial bagi penduduk miskin, agar masyarakat terlindungi dari kemungkinan penurunan kualitas hidup yang diakibatkan oleh tekanan tingginya harga bahan pangan seiring tingginya laju tekanan inflasi, serta penurunan daya beli seiring dengan melemahnya harga komoditas di tingkat petani.
.
*Penulis pengamat ekonomi/alumni UGM Yogyakarta, bekerja sebagai dosen dan analis di salah satu perusahaan sekuritas di Kota Medan.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya . Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan identitas atau biodata diri singkat (dalam satu-dua kalimat untuk dicantumkan ketika tulisan tersebut dimuat). Panjang tulisan 4.000-5.000 karakter. Kirimkan tulisan dan foto (minimal 700 px) Anda ke [email protected]