Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Konsep wisata halal di Kawasan Danau Toba (KDT) yang diwacanakan Gubernur Sumatra Utara (Gubsu), Edy Rahmayadi, ditengarai adalah bentuk intervensi adat dan budaya masyarakat Batak di KDT. Apalagi salah satu poinnya, sebagaimana disebut Gubsu, adalah penataan lokasi pemotongan binatang kaki empat (babi).
Antropolog Batak, Prof Bungaran Antonius Simanjuntak (BAS), mengingatkan Gubsu untuk tidak meneruskan konsepnya itu.
"Gubsu tidak boleh mengubah dan mengatur adat dan budaya. Apakah Gubsu mau menghancurkan adat budaya Batak dengan label makanan halal itu?" kata BAS kepada medanbisnisdaily.com, Kamis (29/8/2019).
Menurut BAS, tanah Batak sama dengan Bali, ada kuliner tradisionalnya yang bisa dicicipi turis lokal maupun mancanegara. Itu adalah bagian kekayaan yang dimiliki suatu kelompok masyarakat tradisi yang harus dihormati dan dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan.
Di Batak, ada banyak kuliner tradisional. Antara lain, sangsang, naniarsik, namargota, napinadar, natinanggo, silalat, naginoreng dan sebaginya.
Dengan melontarkan kebijakan itu, Edy, menurut BAS, tengah menggunakan gaya diktator orde baru yang memakai kekuasaan untuk mengintervensi budaya.
BAS juga mengingatkan Edy jangan seperti EWP Tambunan yang ketika menjabat Gubernur Sumatra Utara menggunakan adat dan budaya untuk menggadaikan tanah Batak kepada perusahaan yang merusak lingkungan.
"Edy jangan seperti EWP pakai adat budaya Batak pago-pago untuk menggadaikan tanah kepada PT IIU/TPL. Gubsu tidak berhak mengatur apalagi mengubah adat dan budaya. Sebaliknya, dia harus melindungi, ingat melindungi, bukan mengubah," tandas BAS.