Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi A DPRD Sumatra Utara dengan berbagai pihak di gedung dewan, Jalan Imam Bonjol, Medan, Senin (2/9/2019), terbukti bahwa bandar udara atau bandara Sibisa di Kabupaten Toba Samosir mencaplok tanah warga setempat. Luas tanah warga yang dicaplok lebih dari 3,7 Ha atau 37.800m2.
Hadir dalam RDP, selain anggota Komisi A; Brilian Moktar dan Ramces Simbolon, warga pemilik tanah yang dicaplok, mantan Kepala Desa Pardamean, Leher Sirait, juga para pejabat Pemkab Tobasa. Seperti, Sekretaris Daerah Tobasa, Andi Murphy Sitorus, Kepala Dinas Perhubungan, Pargaulan Sianipar, Kepala Badan Pertanahan Nasional, JF Damanik dan Camat Sibisa, Tigor Sirait. Selain itu, Kepala Bandara FL Tobing, Farel Tobing, pejabat dari Angkasa Pura II serta Aliansi Gerakan Relawan Masyarakat Peduli Danau Toba (Argema PDT).
Disebutkan dalam RDP, semula tanah bandara Sibisa berasal dari pemberian warga pada Februari 1975. Seluas 200X2000m2 atau 40Ha. Penyerahan tanah dipimpin Leher Sirait kepada Pemkab Tobasa. Posisi tanah persis berada di tepi jalan raya yang di sebelah timur berbatasan dengan gedung sekolah SD.
Oleh Pemkab kemudian tanah diserahkan kepada Kementerian Perhubungan dan dijadikan bandara perintis Sibisa. Semula landasan sepanjang 750 meter sudah dibangun dan telah beroperasi sebagai tempat pendaratan dan pemberangkatan pesawat jenis kecil. "Tahun 1997 pesawat Susi Air sudah mendarat disana," terang Farel Tobing.
Karena merupakan jenis perintis, pengelolaan bandara Sibisa berada di bawah Bandara FL Tobing, bukan Angkasa Pura II.
Seiring dengan kebijakan pemerintah pusat menjadikan Danau Toba sebagai kawasan pariwisata strategis nasional, Bandara Sibisa dibangun guna mendukung. Pembangunan landasan dicanangkan hingga sepanjang 2.500 meter. Terutama agar bisa menampung pesawat berukuran lebih besar, yakni B737-500 dengan jumlah penumpang lebih banyak.
Untuk kepentingan tersebut pada 2017 dilakukan pensertifikatan tanah Bandara Sibisa. Oleh BPN ditetapkan menjadi sertifikat Hak Pakai No 2. Akan tetapi setelah dilakukan pemagaran tanah, terjadi perubahan batas. Gedung SD tidak lagi menjadi batas di sebelah timur. Tanah milik warga bahkan masuk ke dalam areal tanah bandara yang dipasang pagar besi. Di antaranya warga yang tanahnya tercaplok adalah Ramsion Barutu, Soloan Sirait dan Pahala Sirait.
Oleh mantan Kades, Leher Sirait, dijelaskan di dalam RDP, dia mengetahui persis batas-batas tanah yang diberikan ke Pemkab Tobasa. Oleh karenanya dia juga mengetahui telah terjadi pergeseran.
Setelah Brillian mempertanyakan kepada satu per satu pejabat Pemkab Tobasa, mulai dari Camat, Kadis Perhubungan, Kepala BPN hingga Sekda, diketahui telah terjadi kesalahan dalam pengukuran ulang lahan bandara.
Oleh Kadis Perhubungan, Pargaulan Sianipar, dikatakan telah terjadi perubahan sketsa bandara dari sketsa awal. Kemudian dilakukan pengukuran mengikuti lahan yang telah dipagar. Akibatnya terjadi pergeseran batas dan tanah warga ikut tercaplok.
"Pemagaran lahan bandara dilakukan lebih dulu dari pada pengukuran," ujar Pargaulan.
Kesalahan pengukuran lahan bandara, kata Sekretaris Argema PDT, Ramlan Tampubolon, diduga akibat perubahan sketsa yang didalamnya melibatkan Kepala Desa Pardamean, Kartina Situmeang. Bidang tanah yang seharusnya masuk ke dalam areal bandara dikeluarkan dan kepemilikannya beralih ke pihak lain. Di antaranya suami Kartina bernama Enriko.
Atas kesalahan yang menyebabkan tanah warga yang dicaplok masuk ke dalam areal bandara Sibisa, Komisi A meminta agar pihak BPN dengan melibatkan seluruh pihak terkait melakukan pengukuran ulang.
Komisi A juga meminta kesediaan Pemkab Tobasa untuk membayar tanah milik warga yang sudah terlanjur masuk ke dalam areal lahan bandara. Setelah terlebih dahulu dilakukan perubahan sertifikat karena kesalahan pengukuran sebelumnya.
"Kami bersedia mengeluarkan tanah milik warga dari Bandara Sibisa jika ternyata terjadi kesalahan pengukuran," ujar Andy Murphy Sitorus.
Kepala BPN menyebutkan, pengukuran ulang dapat dilakukan berdasarkan permintaan warga setelah terlebih dahulu membayar biaya-biaya. Seluruh pihak bersepakat untuk menyelesaikan tanpa melalui proses hukum.