Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Tulisan kali ini merupakan sambungan dari tulisan sebelumnya yang berjudul “Posisi Perbankan saat Fintech Datang”. Hanya, dalam tulisan kali ini penulis akan memberikan gambaran bagaimana bentuk Fintech (financial technology) syariah itu nantinya. Terlebih sejumlah aturan yang mendukung kegiatan fintech syariah sejauh ini tidak sematang fintech konvensional.
Karena mengadopsi proinsip syariah yang memiliki varian akad yang banyak serta butuh regulasi dari dewan ulama, tentunya menjadi salah satu tantangan bagi fintech syariah untuk beroperasi. Hal inilah yang saya pikir menjadi pertimbangan penulis sejauh ini yang menarik untuk diangkat dalam bentuk tulisan. Semoga bisa menjadi referensi yang bermanfaat.
Untuk regulasi terkait dengan ketersediaan teknologi fintech syariah, tentunya tidak serta merta aplikasi yang ada di Fintech konvensional bisa langsung 100% di adopsi. Menggunakan fintech konvensional baik itu untuk urusan bisnis yang sifatnya konsumtif, maupun produktif. Tentunya akan lebih mudah diaplikasikan.
Produk hukumnya juga lebih mudah untuk dibuat. Karena dalam Fintech konvensional, baik pemilik dana, dan yang membutuhkan dana hanya diberlakukan dengan aturan bunga. Segala macam bentuk keterlambatan bisa digunakan dengan aturan denda. Jadi sangat simpel sekali dalam mengimplementasikan konsep fintech yang konvensional.
Tetapi dalam konsep syariah, tidak semudah itu baik dalam membangun aplikasi untuk Fintechnya termasuk juga regulasi yang mendukung kehadiran Fintech Syariah tersebut. Walaupun saat sistem teknologinya terbangun, aturannya sudah matang, teknis penggunaan Fintech Syariah tidak akan berbeda tingkat kesulitannya dengan menggunakan jasa Fintech Konvensional.
Jadi membangun landasan atau fundamental perusahaan Fintech Syariah memiliki kompleksitas masalah yang lebih rumit. Sekalipun pengoperasian nantinya terlihat sederhana saja. Sebagai contoh, saat Fintech konvensional memberikan pembiayaan konsumtif bagi nasabah yang ingin membeli Handphone. Tentunya mudah saja bagi Fintech konvensional dalam menyalurkannya.
Meminta data lengkap nasabah, mengenakan aturan bunga, serta menentukan besaran cicilan. Dan aplikasinya akan lebih mudah difahami. Nah untuk fintech syariah, selain meminta data nasabah yang lengkap, proses validasinya juga sangat diperhatikan. Misal seorang calon nasabah mengajukan permohonan pembiayaan untuk sebuah Handphone.
Maka data validasi nasabah tersebut harus jelas, bukan hanya sekedar mengenai kelengkapan data seperti KTP, KK, Pekerjaan atau nomor telepon. Ada yang biasa dilakukan dalam proses validasi pada umumnya, namun justru dihilangkan saat menggunakan Fintech. Contohnya adalah kelayakan calon nasabah atau debitur yang masuk dalam daftar hitam BI atau OJK.
Jadi kalau perbankan pada umumnya menggunakan BI Checking (dahulu), atau menggunakan Ideb SLIK saat ini. Maka di Fintech urusan yang satu ini dihapuskan. Padahal dalam konsep syariah, memberikan pembiayaan pada nasabah yang bermasalah (masuk daftar hitam setelah ada BI Checking / Ideb SLIK), itu sama saja zhalim.
Sejumlah ulama menilai tindakan tersebut sama saja dengan memaksakan mereka yang tidak memiliki kemampuan membayar untuk berhutang. Konteks KYC (know your customer) di fintech tidak sekompleks atau se-rigid Bank pada umumnya. Dan ini menjadi salah satu kelemahan Fintech. Karena Fintech lebih mengedepankan efisiensi dan kemampuan teknologi dalam proses evaluasi nasabah.
Memang lebih efisien, namun tidak mengenal lebih dekat si calon nasabah tersebut, seperti karakter calon nasabah, tempat tinggalnya, ataupun kemampuan membayarnya. Sehingga memang perlu pendapat ulama disini yang menjadi landasan hukum agar Fintech bisa beroperasi maksimal, karena tren perkembangan Fintech belakangan cukup signifikan.
Masalah lainnya adalah Fintech akan sangat bergantung kepada kehandalan teknologi data kependudukan di republik ini. Sebagai contoh, KTP yang kita miliki saat ini memang sudah benar-benar menjadi satu satunya ID per satu orang dan tidak ada satupun masyarakat yang menggandakannya. Karena awal muasal proses validasi data tersebut ada di KTP. Dan untuk kemampuan penyediaan data seperti ini, saya menilai pemerintah sudah dalam track yang benar.
Selanjutnya adalah saat misalkan Fintech Syariah menyalurkan dana ke sektor Produktif. Dalam konteks ini, sistem teknologi yang dibangun harus mampu menghadirkan segala macam bentuk akad dalam islam, aturan bagi hasil atau nisbah yang tentunya tidak akan semudah itu difahami oleh masyarakat. Padahal dalam konteks penyaluran dana melalui fintech syariah, akad yang terjadi harus tersampaikan dengan komperhensif kepada investor, maupun kepada debitur.
Jadi cakupan pengembangan sistem teknologi di Fintech Syariah itu tidak mudah. Jauh lebih kompleks dibandingkan dengan hanya menggunakan sistem teknologi dari Fintech Konvensional. Tetapi pemahaman masyarakat kita kan tidak semudah itu dalam mencerna istilah-istilah dalam ekonomi syariah. Contoh ada akad mudharabah, murabahah, musyarakah ataupun akad lainnya, atau aturan lain terkait dengan nisbah, keterlambatan pembayaran, aturan wan prestasi dll.
Terlepas dari pemahaman masyarakat kita yang awam akan hal ini. Umumnya investor atau pendana yang memberikan modal untuk pembiayaan maupun calon debitur nantinya akan bersikap pragmatis. Misalkan si pendana tidak ambil pusing dengan akad-akad yang dijabarkan di sistem teknologi Fintech. Si nasabah hanya melihat profile dari si calon debitur.
Selanjutnya kalau debitur merupakan perusahaan yang menjadi rekanan perusahaan tertentu sebagai penjamin pembayaran. Maka pendana akan melihat siapa mitranya. Selama pendana yakin bahwa baik perusahaan dan mitranya (main kontraktor) merupakan perusahaan yang bonafit. Pendana akan tetap yakin memberikan pembiayaan.
Sehingga sekalipun industri Fintechnya dibangun, namun bukan berarti pelaku bisnis didalamnya akan mendapatkan pemahaman terkait dengan aturan syariah yang melekat didalamnya. Jadi memang perlu ada edukasi, kehadiran Fintech syariah bukan hanya mengejar bisnisnya semata, lebih dari itu, fintech syariah juga harus mampu mengedukasi penggunanya.
Jika Pemerintah memang serius untuk mengembangkan industri syariah di tanah air. Maka sebaiknya memang ada keberpihakan dalam pengembangan sistem teknologinya ataupun juga dengan regulasinya. Saat Fintech Syariah beroperasi, tentunya dibutuhkan dewan pengawas Syariah yang memiliki kewenangan dalam menentukan atau memberikan masukan kebijakan yang syariah.
Kita tentunya tidak mau nantinya masyarakat justru tidak mengalami pengembangan pola pikir serta mampu membedakan mana syariah dan mana yang konvensional. Kehadiran Fintech syariah seharusnya menjadi wadah untuk pengembangan ilmu pengetahuan juga. Jangan sampai nanti justru masyarakat menyimpulkan bahwa konvensional dan syariah itu sama saja.
Karena saat masyarakat berhadapan dengan sistem teknologi fintech syariah, katakanlah seorang pendana melihat potensi keuntungan dengan menempatkan dana di salah satu proyek sebesar 8%, dan seorang debitur melihat kebutuhan modalnya sebesar 12%. Dengan skema itu langsung terjadi transaksi diantara keduanya melalui Fintech syariah.
Dan mereka berkesimpulan bahwa sama saja kok pakai Fintech syariah dan konvensional. Sama sama disajikan dalam persen. Dan angkanya juga tidak jauh berbeda bahkan sama. Padahal saat pendana menempatkan dananya bisa jadi berlaku akad Qardh atau Wadiah atau Mudharabah atau akad lainnya. Sementara saat peminjam (debitur) mendapatkan dananya bisa berlaku akad Ijarah atau Mudharabah, atau akad lainnya.
Dan jika itu yang terjadi, maka pengembangan ekonomi islam hanya sebatas mampu menggaet pangsa pasar bisnisnya saja. Namun belum optimal dalam mengedukasi serta meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnnya bermuamalah dengan cara yang syariah. Ingat, jika tanpa melihat substansi, saat kita berhadapan dengan sistem (teknologi) perbankan atau sistem keuangan lainnya, semuanya akan terlihat sama saja antara konvensional dan syariah.
*Penulis pengamat rkonomi, Alumni UGM Yogyakarta, Mahasiswa S3 Ekonomi Syariah UIN Sumatera Utara.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya . Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan identitas atau biodata diri singkat (dalam satu-dua kalimat untuk dicantumkan ketika tulisan tersebut dimuat). Panjang tulisan 4.000-5.000 karakter. Kirimkan tulisan dan foto (minimal 700 px) Anda ke [email protected]