Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Karya sastra berbahasa daerah banyak yang belum digali secara maksimal. Salah satunya yang berasal dari Sumatra Utara, khususnya Padang Sidimpuan. Dari hasil penelitian, tradisi menulis karya sastra dengan bahasa ibu itu sudah dimulai sejak 1909. Demikian dikatakan peneliti sastra Padang Sidimpuan, Budi P Hutasuhut kepada medanbisnisdaily.com, Minggu malam (8/9/2019).
"Saya sedang membuat penelitian tentang sastra berbahasa Batak dan menemukan banyak novel berbahasa Batak yang ditulis Sutan Martua Raja, Sutan Pangurabaan Pane, Mangaraja Hasundutan Ritonga. Ketiganya menulis novel sejak 1909. Karya mereka awalnya disiarkan sebagai cerita bersambung di surat kabar dan menjadi bacaan yang ditunggu warga setiap edisinya," terang Budi.
Penelitian Budi diawali dengan biografi Sutan Pangurabaan Pane untuk mengetahui alasannya menulis dalam bahasa Batak meskipun dia menguasai bahasa Belanda, Arab, Melayu, Batak Angkola, Batak Toba, Mandailing, Jawa, dan Jepang. Sutan Pangurabaan Panel adalah ayah dari Sanusi Panel, Armijn Lane dan Lafran Pane. Dia kelahiran Sipirok dengan nama asli Sutan Pane.
Salah satu karya sastra Sutan Pane itu, lanjut Budi berjudul "Tolbok Haleon". Novel berbahasa Batak Angkola itu pertama kali diterbitkan tahun 1918 di Padang Sidempuan, terang Budi.
"Dari riset itu, saya temukan alasan beliau menulis dalam bahasa Batak karena menilai budaya Batak lebih dekat dengan masyarakat. Dia menulis untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat. Sebelum dicetak jadi buku, novel ini terbit bersambung di surat kabar Partopaan Tapanuli. Proses selama terbit di koran hampir setahun, dan itu artinya Sutan Pane menulis novel ini sekitar tahun 1916 atau 1917," kata Budi.
Selain karya sastra, Sutan Panen, sambung Budi, juga banyak menulis buku buku adat istiadat, menerjemahkan buku bahasa Belanda ke dalambahasa Batak, dan menyusun Kamus Bahasa Batak Angkola.