Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Yogyakarta. Pertumbuhan keuangan digital atau financial technology (fintech) peer to peer (P2P) lending sangat pesat dan mampu memberikan kontribusi cukup besar terhadap perekonomian. Kontribusi tersebut terlihat dari peningkatan beberapa lini ekonomi. Fintech lending merupakan layanan pinjam meminjam secara langsung antara kreditur/lender (pemberi pinjaman) dan debitur/borrower (penerima pinjaman) berbasis teknologi informasi.
Selama kurang dari dua tahun, fintech lending mampu menambah GDP atau Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar Rp 25,97 triliun. Juga menyerap tenaga kerja sebanyak 215.433 orang. Fintech lending juga menstimulasi pertumbuhan perbankan sebesar 0,8%, perusahaan pembiayaan 0,6% dan ICT sebesar 0,2%. Selain itu, fintech lending juga berkontribusi menambah pendapatan (upah dan gaji) sebesar Rp 4,56 triliun.
Deputi Direktur Pengaturan, Penerapan dan Pengembangan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Munawar, mengatakan, layanan jasa keuangan berbasis teknologi informasi cukup banyak mulai dari jasa keuangan pembayaran, pendanaan, perbankan, pasar modal, diasuransikan, jasa pendukung dan inovasi keuangan digital lainnya. "Semua itu dilakukan dengan menggunakan internet. Itu yang membuat kontribusinya terhadap GDP cukup besar," katanya, pada acara Pelatihan dan Gathering Media Massa OJK Kantor Regional 5 Sumbagut, di Hotel The Phoenix Yogyakarta, Sabtu (14/9/2019).
Fintech lending yang diatur dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 77/2016 tentang P2P Lending juga dimanfaatkan untuk mendorong usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Munawar mengakui, fintech ini sebagai salah satu upaya stimulus terhadap perekonomian. Tantangannya pada masih banyaknya masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap data keuangan dan tidak memiliki akun di bank. Tercatat ada 1,7 miliar orang dewasa yang tidak memiliki akun di bank.
Tercatat, indeks literasi keuangan Indonesia pada tahun 2013 sebesar 21,84% dan tahun 2016 sebesar 29,66%. Dan pada akhir tahun 2019 ditargetkan mencapai 35%. Sementara indeks inklusi keuangan Indonesia pada tahun 2013 sebesar 59,74%, tahun 2016 sebesar 67,82% dan pada akhir tahun 2019 ditargetkan mencapai 75%.
Terkait fintech ilegal yang jumlahnya ribuan, menurut Munawar, sudah ditutup oleh Satgas Waspada Investasi (SWI). Jumlah fintech ilegal memang cukup banyak karena yang terdaftar atau berizin hanha 127 fintech. "Makanya masyarakat diharapkan melapor ke OJK atau SWI bila menemukan ada fintech lending ilegal," katanya.
Dikatakan Munawar, untuk fintech yang legal (terdaftar dan berizin), jika telat pembayaran maka diberikan tempo satu tahun hanya dengan bayar modal. Sedangkan fintech ilegal selalu meminta data nama dan telepon sebanyak-banyaknya yang berhubungan dengan calon nasabah tersebut. Sehingga, kalau terjadi telat pembayaran maka seluruh nomor telepon dan alamat yang diberikan terus dihubungi dengan harapan nasabah mendapat malu.
Untuk itu, masyarakat sebagai nasabah diminta menjadi nasabah cerdas dengan mengecek apakah fintech tersebut legal atau tidak. Karena jika legal, maka akan terdaftar di OJK.