Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Perjanjian kesepakatan antara Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) dengan masyarakat adat Sigapiton, Desa Sigapiton, Kecamatan Ajibata, Tobasa, pasca bentrokan, Kamis (12/9/2019) lalu dinilai merugikan masyarakat adat. Hal itu dikatakan Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak Roganda Simanjuntak kepada medanbisnisdaily.com, Senin (16/9/2019).
"Masyarakat Sigapiton dipaksa kalah, jika melihat isi perjanjian tersebut Seharusnya solusi penyelesaiannya adalah bupati menerbitkan SK Penetapan Masyarakat Adat Sigapiton beserta wilayah adatnya. Sehingga tidak perlu menempuh jalur pengadilan untuk menyelesaikannya," tutur Roganda.
Kalau melihat isi kesepakatan tersebut, sambung Roganda, tidak setara/seimbang posisinya. Dikatakan Roganda, dalam hal pengakuan tanah adat itu, ironisnya bupati membiarkan sendiri rakyatnya bertarung untuk mempertahankan tanahnya. Padahal Bupati Tobasa punya kewenangan sesuai dengan peraturan yang tersedia di republik ini. Misalnya Permendagri No 52 Tahun 2014. Bupati juga bisa memakai/menerapkan Perda Tanah Ulayat yang sudah disahkan DPRD dan bupati pada tahun 2017.
"Butir-butir isi perjanjian tersebut seharusnya dijelaskan dengan jujur apa implikasi atau resiko yang muncul dari setiap butir kesepakan. Kami dari AMAN Tano Batak menegaskan bupati harus menetapkan lewat SK Masyarakat Adat Sigapiton beserta wilayah adatnya. Tanpa seperti itu warga Sigapiton akan dipaksa kalah," katanya.
Sebelumnya pasca bentrokan itu, Direktur Utama BPODT, Arie Prasetyo, kepada medanbisnidaily.com, Kamis (12/9/2019) mengatakan, sudah dilakukan pendekatan persuasif dan telah menghasilkan kesepakatan .