Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
“Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan. Tanah untuk tani, tanah untuk mereka jang betul-betul menggarap tanah. Tanah tidak untuk mereka jang dengan duduk ongkang-ongkang mendjadi gemuk-gendut karena menghisap keringatnja orang-orang jang disuruh menggarap tanah itu” ( Ir Soekarno ).
Polemik kehadiran Rancangan Undang-undang Pertanahan (RUU Pertanahan 2019) yang disodorkan pemerintah ke DPR sarat dengan belasan pasal yang bermasalah. Ada beberapa persoalan pokok yang dianggap menghilangkan hak-hak masyarakat atas tanah, yakni mempermudah pengusahaan lahan atas nama investasi, menutup akses masyarakat atas tanah dan pemenjaraan bagi warga yang memperjuangkan hak atas tanahnya.
Seperti yang tertuang dalam pada pasal 89 berupa ancaman kriminalisasi terhadap masyarakat yang mempertahankan tanahnya dari penggusuran. Dan pasal 94 yang berbunyi setiap orang atau kelompok yang mengakibatkan sengketa lahan akan dipidana paling lama 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp15 miliar. Bahkan yang terburuk stigma bahwa masyarakat yang sedang menyuarakan atau memperjuangkan kembalinya tanah dapat ditafsirkan sebagai melakukan pemufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan.
Dalam catatan Perhimpunan Suluh Muda Indonesia selama 2017 - 2019, sekitar 300 konflik agraria dan 45 konflik terjadi di Sumatera Utara. Dan mayoritas belum ada penyelesaian yang kongkrit dari pemerintah terhadap hak-hak rakyat. Konflik agraria berupa perampasan untuk bangunan, pertambangan, kehutanan, dan sebagainya.
Menyimpang dari UU Pokok Agraria
Jika dilihat secara teliti RUU Pertanahan 2019 sangat menyimpang dari spirit Undang-Undang Pokok Agraria No 5 Tahun 1960, bahkan dari semangat keadilan sosial dan pemerataan dalam program Nawacita pemerintahan Presiden Joko Widodo. Ruh dan prinsip reforma agraria sebagai jalan mengatasi ketimpangan penguasaan lahan dan sumber daya alam tidak tercermin sama sekali dalam RUU Pertanahan ini. Karena tidak menjelaskan secara pasti tentang subjek prioritas pemanfaatan dan objek reforma agraria serta penyelesaian konflik agraria seperti apa.
Semangat keadilan agraria, terutama penolakan atas penguasaan akumulatif atas tanah dan dasar bagi kebijakan land reform/agrarian reform jelas tertuang dalam UU Pokok Agraria, pasal 11 ayat 1. Hal ini bermaksud mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas dalam bidang-bidang usaha agraria, yang sangat bertentangan dengan azas keadilan sosial dan perikemanusiaan.
Karena itu segala usaha bersama dalam lapangan agraria harus didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional (pasal 12 ayat 1). Pemerintah berkewajiban untuk mencegah adanya organisasi dan usaha-usaha perseorangan dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli swasta (pasal 13 ayat 2). Bukan saja usaha swasta, tetapi juga usaha-usaha pemerintah yang bersifat monopoli harus dicegah jangan sampai merugikan rakyat banyak.
Sementara sejumlah pasal dalam RUU Pertanahan justru seperti mempermulus kelompok yang memiliki posisi tawar kuat, baik dari segi modal, ekonomi maupun akses politik. Seperti rencana perpanjangan Hak Guna Usaha yang sudah diberikan selama 35 Tahun bisa diperpanjang menjadi 90 Tahun. Hal itu yang termuat pada pasal 25 dalam RUU Pertanahan yang multitafsir. Padahal pemberian perpanjangan HGU sangat menutup kemungkinan petani atau penggarap menjadi subjek dari reforma agraria, bahkan penyelesaian konflik agraria yang ada.
Konflik agraria adalah salah satu penyumbang pelanggaran HAM. Ada pelanggaran hak ekonomi, hak budaya, hak hidup, hingga hak adat. Apalagi selama ini dalam setiap penyelesaian konflik agraria sangat jarang dilakukan dengan pendekatan persuasif, tetapi lebih menekankan pada pendekatan keamanan yang melibatkan aparat kepolisian dan TNI.
Bahkan RUU Pertanahan yang ditarget selesai dalam September 2019 ini, seolah menghidupkan lagi spirit kolonialisme. Karena disebutkan bahwa tanah yang tidak bisa dibuktikan siapa pemiliknya, maka otomatis negara memilikinya. Jadi tanah yang tidak terdaftarkan menjadi tanah negara, itu sama dengan domein verklaring atau praktik politik agraria zaman kolonial, sementara dominan tanah ulayat dan hutan adat tidak memiliki surat kepemilikan.
Menolak RUU Pertanahan Sesat
Menelisik RUU Pertanahan secara mendalam akan terlihat lebih banyak mengakomodir kepentingan pengusaha atau korporasi dan mengeser pemaknaan UU Pokok Agraria yang sangat membatasi korporasi dalam penguasaan lahan dalam jumlah sangat besar, karena akan mempertinggi angka ketimpangan penguasaan lahan yang menjadi salah satu topik dalam debat Pilpres 2019.
Dalam RUU Pertanahan, Pasal 81 disebutkan tentang bank tanah yang merupakan badan hukum milik negara dan berfungsi menjalankan kegiatan perolehan, pengelolaan, dan penyediaan tanah secara nasional dan terpadu. Di mana aset kekayaan bank tanah nantinya dipisahkan dari keuangan negara.
Dengan pengertian semua tanah yang dianggap menganggur akan masuk ke dalam bank, maka akan sangat memungkinkan hak pengelolaannya akan diberikan kepada perusahaan atau koorporasi, sehingga sangat memberikan peluang bagi korporasi untuk menguasai tanah melalui bank tanah. Sementara, dominasi terbesar konflik agraria adalah penguasaan lahan dan hutan oleh koorporasi.
Secara gamblang RUU Pertanahan ini mengingkari semangat Reformasi dalam TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam serta UU PA No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang seharusnya menjadi konsideran. Maka lebih baik RUU Pertanahan ini ditunda atau dibatalkan jika justru mengalami kesesatan pemaknaan dalam penyusunannya. Karena sangat memungkinkan mempertinggi angka ketimpangan penguasaan lahan dan Sumber daya alam serta mempersulit capaian kemandirian pangan.
*Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Indonesia (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya . Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan identitas atau biodata diri singkat (dalam satu-dua kalimat untuk dicantumkan ketika tulisan tersebut dimuat). Panjang tulisan 4.000-5.000 karakter. Kirimkan tulisan dan foto (minimal 700 px) Anda ke [email protected]