Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Sejak pagi hingga jelang magrib, Selasa (24/9/2019), saya memantau siaran televisi tentang demonstrasi mahasiswa di berbagai kota. Secara bersamaan, sidang paripurna DPR RI pun sedang membahas RUU KUHP dan RUU Lembaga Pemasyarakatan.
Unjuk rasa mahasiswa tersebut meminta agar DPR RI tidak mengesahkan RUU KUHP, RUU Lembaga Pemasyarakatan, RUU Pertanahan dan RUU Minerba. Selain itu juga meminta agar UU tentang KPK yang telah disahkan DPR dibatalkan.
Tak pelak, demonstran mahasiswa mengepung gedung DPR RI di Senayan Jakarta. Khususnya di daerah, seperti Bandung, Semarang, Makassar, Palembang, Medan, Malang dan sebagainya juga mendatangi gedung DPRD di berbagai kota tersebut. Namun aneh bin ajaib, tidak ada hubungan interaktif antara demonstrasi mahasiswa dengan apa yang terjadi di paripurna DPR RI.
Meskipun Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang memimpin paripurna tersebut telah menunda pembahasan dan pengesahan RUU KUHP dan RUU Lembaga Pemasyarakatan pada Kamis pukul 14.000 siang, namun unjuk rasa mahasiswa terus berlangsung hingga pasca isya Selasa Malam. Bahkan, ada yang hingga tengah malam.
Padahal, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo kepada pers di Jakarta, menyerukan agar demonstran mahasiswa segera bubar saja karena tuntutan mereka telah dikabulkan oleh DPR. “Pembahasan RUU lainnya, seperti RUU KUHP, Pemasyartakatan, Pertanahan dan Minerba akan dilanjutkan oleh DPR periode berikutnya,” kata Bambang.
Adapun tentang UU KPK, bisa diperjuangkan mahasiswa melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Lebih elegan dan konstitusional.
Eh, unjuk rasa malah semakin memanas. Di beberapa kota seperti Jakarta, Maksassar, Palembang dan lainnya terjadi bentrokan dengan petugas kepolisian. Mahasiswa melempari aparat dengan batu dan botol minuman mineral. Bahkan, mencoba merobohkan pagar gedung DPR.
Tak ayal, polisi pun mulai memembakkan gas air mata. Juga semburan water canon ke arah mahasiswa. Pengunjukrasa kocar kacir. Mundur sejenak tapi merangsek merapat lagi. Begitulah berulang kali bagaikan hit and run.
Padahal saya kira jika penundaan RUU tersebut dikomunikasikan dengan para demonstran, unjuk rasa bisa mereda. Saya membayangkan, Bambang Soesatyo mengumumkannya di atas mobil water canon melalui pengeras suara.
“Adik-adik mahasiswa pulanglah, tuntutan Anda sudah dikabulkan. Anda sudah menang,” begitu saya harapkan Bambang berseru di depan mahasiswa. Lalu, mengajak menyanyikan lagu ”Padamu Negeri.”
Jika informasi serupa pun disebar-luaskan kepada demonstran di berbagai kota secara massif dan sistemik, saya kira pengunjukrasa pun akan lega dan merasa diapresiasi. Barangkali perlahan membubarkan diri.
Namun, strategi tabur informasi itu tak terjadi sehingga demonstrasi terus berkobar. Kekuatan informasi yang bisa mempengaruhi masyarakat, seperti dikatakan ahli komunikasi Marshall McLuhan, asal Edmonton Kanada itu pun tak terjadi. Sayang seribu kali sayang.