Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Tak banyak yang peduli, atau setidaknya tak banyak yang tahu bahwa perhatian yang diperlihatkan pemerintah kepada warga penyandang disabilitas (cacat tubuh) sesungguhnya tidak serius. Hanya lip service. Baik Pemko Medan maupun Pemprov Sumut.
Memberdayakan penyandang disabilitas agar mampu hidup dengan kemampuan sendiri (mandiri) oleh pemerintah tak lebih cuma jargon. Bantuan-bantuan yang diberikan hanya sekedar memenuhi program, kelanjutannya seperti apa tidak dipedulikan.
Para pengurus Perhimpunan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) tingkat Sumut dan Kota Medan menjelaskan fakta-fakta tersebut kepada bakal calon Wali Kota Medan, Sutrisno Pangaribuan, pada silaturahmi, Selasa (1/10/2019).
Kata Ketua PPDI Sumut, Muhammad Yusuf, ketiadaan Peraturan Daerah tentang penyandang disabilitas adalah pangkal ketidakseriusan pemerintah mengurus mereka. Itu sebabnya perhatian yang diberikan hanya sekedarnya saja. Berbeda dengan provinsi lain, seperti Sumatera Barat, yang memiliki Perda.
Misalnya, ungkap Yusuf didampingi pengurus lainnya, seperti Marliana Sihombing (Sekretaris), Herlina Lismawati (Bendahara), Joli Afriany (Ketua PPDI Medan dan Manaon Napitupulu, soal penyelenggaraan peringatan Hari Disabilitas Internasional (HDI).
"Nama kami dimasukkan di dalam SK Gubernur sebagai panitia HDI, tapi nggak bisa tahu anggarannya berapa. Ketika acara sudah selesai nggak pernah ada laporan pertanggungjawaban. Kami tak dihargai," ungkap Yusuf.
Penyelenggaraan HDI, terangnya, dibuat asal ada. Hanya berlangsung setengah hari di aula Raja Inal Siregar. Berbeda dengan pelaksanaan di provinsi lainnya sampai tiga hari. HDI diisi dengan pameran produk-produk para penyandang disabilitas. Ketika ada yang tertarik membeli, dengan demikian pemilik produk jadi mandiri. Seharusnya peringatan HDI di Sumut juga seperti itu.
Tidak adanya Perda tentang penyandang disabilitas, terang Manaon, menyebabkan tidak ada program terukur yang dilakukan pemerintah dimana para penyandang disabilitas ikut merencanakannya. PPDI jadi tidak memiliki sekretariat. Tempat merancang berbagai kegiatan guna pemberdayaan anggota. Itu sebabnya hingga kini pengurus PPDI Sumut dan PPDI Medan belum kunjung dilantik.
Keterampilan menghasilkan berbagai produk barang dan jasa oleh anggota-anggota PPDI tidak diperhatikan owner agar berkembang. Contohnya, para penyandang tuna netra yang memiliki keahlian memijit. Akibat Dinas Pariwisata lebih mementingkan wanita-wanita cantik menjadi penyedia jasa pijat di hotel-hotel, mata pencaharian kaum tuna netra jadi hilang. Mereka jadi peminta-minta.
"Bahkan jumlah penyandang disabilitas di Medan atau Sumut barangkali pemerintah juga tidak tahu," tutur Manaon.
Marliana menyebutkan mereka tidak menginginkan program yang dibuat pemerintah dalam memberdayakan penyandang disabilitas lebih pada charity atau bantuan atas dasar belas kasihan. Karena dengan kemampuan yang dimiliki mereka bisa mandiri.
Atas penuturan Yusuf dan pengurus PPDI lainnya, Sutrisno jadi mengetahui kondisi kaum disabilitas yang sesungguhnya. Berikut perlakuan yang didapatkan dari pemerintah. Perda menjadi persoalan krusial sebagai kunci pemberdayaan bagi mereka.
"Bagaimana saya sebagai pemimpin bisa merancang program pemberdayaan jika tidak mengetahui kondisi para penyandang disabilitas," tegas Sutrisno yang sudah mengikuti proses fit and proper test menjadi calon Wali Kota Medan dari PDI Perjuangan.
Sutrisno dan PPDI merencanakan akan melakukan sejumlah kegiatan beberapa waktu ke depan. Seperti pengukuhan pengurus PPDI Sumut dan PPDI Kota Medan.