Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Masyarakat adat Sihaporas dari Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras), Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara, mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), di Jakarta, Selasa (1/10/2019) sore. Mereka melaporkan perlakuan sekelompok orang yang diduga oknum kepolisian datang ke kampung untuk memburu lelaki setempat sampai ke perladangan pada malam hari.
Perlakuan yang mereka terima itu disinyalir masih berkaitan dengan bentrokan yang terjadi antara masyarakat adat Sihaporas dengan pihak PT Toba Pulp Lestasi (TPL) yang terjadi pada Senin (16/9/2019).
Seperti diberitakan sebelumnya, pasca bentrokan itu, dua warga Sihaporas, masing-masing Thomson Ambarita dan Jonny Ambarita ditahan di Polres Simalungun, Selasa (24/9/2019). Sedangkan dari pihak TPL belum ada yang ditahan. Setelah penahanan kedua warga itu, sekelompok orang kerap datang dan meneror warga.
Demikian keterangan tertulis yang diterima medanbisnisdaily.com dari Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Selasa malam (1/10/2019).
"Kami mohon perlindungan dan pendampingan dari Komnas HAM, karena kami ini diperlakukan seperti binatang. Beberapa warga dikejar-kejar, diburu sampai ke perladangan, dan pada malam hari. Kalau kami dipanggil baik-baik, pakai surat panggilan, kami akan hadir dan hadapi pemeriksaan polisi," ujar Wakil Ketua Umum Lembaga Masyarakat Adat Sihaporas (Lamtoras) Mangitua Ambarita.
Rombongan masyarakat adat Sihaporas didampingi sejumlah perantau dari Sihaporas dan Pengurus Besar AMAN yakni, Sinung Karto, dan Marolop Manalu. Rombongan diterima Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Sandrayati Moniaga dan staf.
"Saya mendapat kabar dari pemuda-pemuda di Sihaporas, saudara-saudara kami di sana diperlakukan seperti teroris. Semua laki-laki menjadi takut, tidak berani tidur di rumah karena kehadiran orang-orang yang mengaku dari kepolisian. Sekali datang, mereka itu berkelompok menumpang sampai dua mobil," ujar Donal Ambarita, pemuda asal Sihaporas yang berdomisili di Jakarta.
Setelah penahanan Thomson dan Jonny, sejumlah orang mengaku anggota polisi setiap hari datang ke Sihaporas. Akibatnya, warga ketakutan, sehingga menginap di gubuk-gubuk, di perladangan. Namun ternyata, gerombolan polisi kadang datang malam, bahkan sampai menginap, kata Donal.
"Kami mohon Komnas HAM agar menyurati Kapolri atau Kapolda Sumut dan Kapolres Simalungun untuk melakukan penegakan hukum secara profesional. Jangan meneror warga," kata Donal yang tak lain putra Mangitua Ambarita ini.
Sementara itu, di hadapan Komnas HAM, Mangitua mengaku pernah mengalami hal yang sama. Ia juga pernah ditangkap polisi pada 6 September 2004 di perladangan Sihaporas, yang bersengketa dengan PT TPL. Akibatnya, dua anaknya, Donal dan Gio tidak melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi.
Mangitua menambahkan, kalau warga dipanggil polisi baik-baik, mereka mau datang. Itu pun dengan catatan, pelaku pemukulan terhadap anak tiga tahun, Mario Teguh Ambarita, juga diperiksa dan ditahan polisi. Sebab pemukulan anak itulah yang memicu amarah warga Sihaporas sehingga emosi mempertahankan diri, katanya. Mangitua juga meminta Komnas HAM agar turun melihat lokasi konflik, serta memantau dua pengurus lemabag adat yang telah ditahan polisi.
Pengakuan itu masyarakat adat itu pun dibenarkan Sinung Karto. Dikatakannya, beberapa hari ini, ada warga masyarakat adat Sihaporas yang datang ke kantor PB AMAN. Mereka bercerita, perlakukan dugaan tidak profesional polisi. Akibatnya warga ketakutan, tidak tenang berladang untuk mencari hidup bagi keluarga dan anak-anak yang sedang sekolah.
"Mohon Komnas HAM turut mendesat, agar polisi menegakkan hukum secara adil dan profesional," ujar Sinung.
Kordinator International Land Coalition untuk Wilayah Asia, Saurlin Siagian menghimbau sebaiknya Komnas HAM memanggil atau bertemu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, supaya mengecek ulang konsesi TPL di wilayah itu. Dan untuk sementara melarang operasi/moratorium di lokasi berkonflik, ujar Saurlin.
Ia juga meminta polisi untuk membebaskan orang adat yang mempertahankan tanahnya dari PT TPL, korporasi milik Sukanto Tanoto itu.
"Nggak bakalan jatuh miskin beliau, kalau warga yang hidupnya tergantung pada tanah sepetak itu dikembalikan. Ditangkapnya dua orang itu (Thomson Ambarita dan Jonny Ambarita) menjadi momentum untuk penyelesaian segera. Kurasa, kalau nggak diselesaikan, konfliknya akan selalu berulang," kata Saurlin Siagian.
Menanggapi pengaduan itu, Komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga berjanji akan berkoordinasi dengan para pihak terkait. Setelah ke Komnas HAM, pengurus Lamtoras juga berencana melaporkan kasus itu kepada Komisi Nasional Kepolisian (Kompolnas), Divisi Profesi dan Pengamanan (Div Propam) Mabes Polri serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)