Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengembalikan UU KPK ke DPR karena ada salah ketik, yaitu seharusnya tertulis usia minimal pimpinan KPK minimal 'lima puluh' tahun, tetapi ditulis 'empat puluh'.
"Kejadian pembuat UU melakukan clerical error (salah ketik) bukan pertama. Kesalahan ketik di Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, tepatnya pada Pasal 7 ayat 2 butir g," kata pakar hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono kepada detikcom, Kamis (3/10/2019).
Dalam pasal itu, tertulis:
Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
"Pasal 7 ayat 2 ini butir g ini tulisannya seharusnya bukan 'tidak pernah sebagai terpidana', melainkan harusnya tulisannya itu 'tidak sedang sebagai terpidana'," ujar Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember.
Kesalahan ketik juga pernah dilakukan hakim. Dalam putusan Perkara MA Nomor 20 P HUM/2017, terdapat kesalahan di amar nomor 3 yang berbunyi: Memerintahkan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk mencabut Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tanggal 21 Februari 2017 tentang Tata Tertib
"Jika sudah telanjur diundangkan, maka koreksinya adalah melalui judicial review ke MK," ucap Bayu.
Namun, jika belum diundangkan, mekanisme koreksi harus dilakukan oleh kedua lembaga, yaitu DPR dan Presiden. Artinya, kesepakatan kedua lembagalah yang menentukan apakah itu kesalahan ketik atau bukan.
"Jika memang kesalahan ketik diketahui dalam tahap RUU yang sudah disetujui bersama, namun belum disahkan oleh presiden dan belum diundangkan maka koreksi terhadap naskah yang sudah dikirimkan oleh DPR ke Setneg dilakukan dengan cara mengembalikan ke DPR untuk diperbaiki namun kesepakatan perbaikan tetap kesepakatan kedua lembaga, yaitu DPR dan Presiden," papar Bayu.
Judicial review ini dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan atas kejadian salah ketik tersebut karena ada ketidakpastian hukum. Apakah salah ketik ini menjadi masalah serius, tergantung subtansinya.
"Harus ada klarifikasi kedua lembaga ini ke publik apalagi jika publik sudah pegang naskah RUU yang disepakati. Jangan sampai ingin mengubah substansi naskah yang sudah disetujui bersama namun berkedok perbaikan salah ketik. Itu yang tidak boleh," kata Bayu tegas. dtc