Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Sekitar 50 orang laki-laki dari Desa/Nagori Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, meninggalkan kampungnya. Mereka takut dijemput polisi pada malam hari, sehingga melarikan diri ke tempat lain.
Demikian diungkapkan pengurus Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) dalam keterangan tertulisnya yang diterima medanbisnisdaily.com, Jumat (4/10/2019).
Ketua Umum Lamtoras, Judin Ambarita mengatakan, saat ini sudah tidak ada laki-laki dewasa di kampung, kecuali usia lanjut. Semua lari ke tempat lain karena takut.
"Mereka takut karena ada teror, jadi mereka meninggalkan kampung," ujarnya.
Menurut Judin, suasana di Desa/Nagori Sihaporas mencekam setelah terjadi bentrok antara masyarakat adat kontra pekerja PT Toba Pulp Lestari (TPL), pada Senin 16 September silam. Apalagi setelah ada penangkapan dan penahanan dua pengurus Lamtoras, yakni Thomson Ambarita dan Jonny Ambarita.
Diakui Judin, sejak itu, polisi semakin sering datang ke kampung mereka. Kadang datang menumpang sepeda motor, kadang belasan orang datang mengendarai mobil.
"Isunya, polisi mencari tersangka lain. Tapi tidak ada surat panggilan, jadi hanya katanya-katanya. Jadi kami takut, tidak berani tidur di rumah, tapi di ladang. Lalu, waktu teman kami tidur di ladang, dikejar juga sama pak polisi yang datang pakai alat canggih seperti drone, dan senter," kata pengurus Lamtoras lainnya, Mangitua Ambarita.
Menurut Mangitua, warga sebenarnya akan bersedia dipanggil polisi menjelaskan atau memberi kesaksian yang terjadi pada 16 September di lokasi sengketa, Buntu Pangaturan, Sihaporas.
"Tapi kalau warga kami diburu ke ladang malam hati, tanpa ada surat panggilan, kami takutlah. Siapa yang bisa jamin kami dibawa ke kantor polisi, kalau mereka preman lalu menculik dan membunuh kami? Ini yang kami takutkan, dibunuh dan dibuang," kata Mangitua.
Judin menambahkan, pihaknya, Kamis (3/10/2019) sudah mengadukan hal itu kepada Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Partogi Pasaribu di Jakarta. Mereka sekaligus juga meminta perlindungan LPSK. Sebelumnya mereka juga sudah melapor kepada Komnas HAM, Selasa (1/10/2019).
Dikatakannya, LPSK menerima laporan mereka dan akan mengirim surat kepada Kapolda Sumatera Utara tembusan Kapolres Simalungun serta Bupati Simalungun. Isinya meminta agar dalam penegakan hukum juga memberi perlindungan, dan kedamaian sekaligus menghindari keresahan-keresahan masyarakat, termasuk saksi dan korban.
Terkait soal bentrokan dengan pihak PT TPL yang diduga merupakan akar permasalahan itu, Kapolres Simalungun, AKBP Herbertus Ompusunggu dalam wawancaranya dengan medanbisnisdaily.com, Kamis (3/10/2019) menjelaskan, bahwa warga yang justru menganiaya pegawai TPL.
"Yang menganiaya itu masyarakat di sana. Sampai satpam patah tangannya, dua orang orang pelaku ada di dalam video," kata AKBP Herbertus Aritonang melalui pesan WhatsApp.
Namun ketika ditanyakan mengapa dua pegawai TPL malah dilepas, Kapolres yang baru saja menjabat ini langsung mengirimkan rekaman video saat kejadian tersebut berlangsung.
Dalam rekaman tersebut terlihat sejumlah warga setempat melakukan protes yang dihadapi beberapa orang pegawai, termasuk satpam TPL. Di saat beradu argumen tiba-tiba warga melakukan penyerangan menggunakan sejumlah kayu. Bahkan satpam TPL terlihat jelas dipukul menggunakan kayu hingga katanya mengalami patah tangan.
Seperti diberitakan sebelumnya, konflik yang terjadi antara masyarakat adat Sihaporas dengan pihak PT TPL, Senin (16/9/2019) lalu dikarenakan masalah lahan yang menurut TPL merupakan lahan konsesi mereka.