Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Konsep memajukan dunia pendidikan di Indonesia dengan melakukan percepatan berbasis digital sebagaimana yang dicetuskan Mendikbud Nadiem Makarim, disebut mirip dengan upaya pengembangan Kawasan Danau Toba (KDT).
Pembangunan dikebut tapi dengan mengabaikan aspek budaya dan humanity. Hal itu dikatakan akademisi dari Universitas Malikussaleh Tengku Kemal Fasya saat menjadi pembicara seminar nasional "Budaya Lokal di Era Revolusi Industri 4.0". Seminar ini digelar oleh Prodi Antropologi Universitas Negeri Medan (Unimed) di Digital Library kampus ini, Jalan Williem Iskandar, Medan, Selasa (29/10/2019).
"Kalau kita lihat pembangunan Danau Toba juga begitu. Sangat praktis dan kalkulatif. Katanya untuk kesejahteraan masyarakat, tapi praktiknya yang berkuasa investor. Pasar. Masyarakatnya tergerus dan tak dapat apa-apa," kata Kemal.
Kecenderungannya, Mendikbud Nadiem juga akan begitu, bila ia mengabaikan aspek kebudayaan saat memimpin Kemendikbud. Istilah disrupsi positif yang ia sebut itu, lanjut Kemal, seolah-olah penegasan bahwa pendidikan adalah sebuah pasar yang harus kejar target, efesien dan melebur dalam globalisasi. Padahal, jelas Nadiem, hakikat pendidikan itu tidak seperti itu.
"Pendidikan itu untuk memanusiakan manusia. Banyak aspeknya. Dalam budaya, ada nilai-nilai yang ukurannya tak melulu soal efesiensi. Ada relasi nyata, interaksi bukan sekadar komunikasi, seperti di dunia maya. Jadi kalau dibayangkan memajukan pendidikan harus dengan cara progresif seperti itu, ya, tak benar juga," kata Kemal.
Akademisi dari Universitas Negeri Padang, Wirdanengsih juga menyatakan hal yang sama. Menurutnya, justru sekarang ini pendidikan kebudayaan itu harus digalakkan sebagai salah satu cara menangkal sisi negatif globalisasi.
"Mengenal identitas masyarakat salah satunya dengan memahami akar kebudayaannya. Di sanalah nilai-nilai itu melekat," ujarnya.