Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - Presiden Jokowi memberi kode belum akan menerbitkan Perppu KPK dengan alasan menunggu proses uji materi di Mahkamah Konstitusi. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai belum terbitnya Perppu KPK adalah bentuk peringatan sebentar lagi kembali ke zaman Orde Baru.
Asfina menilai revisi UU KPK tidak hanya dilihat dari sisi pemberantasan korupsi, tetapi juga harus dipandang dalam situasi politik nasional. Ia mengaitkan ada tiga elemen saat ini yang bisa diibaratkan sama seperti kondisi di zaman Orde Baru.
"Kita harus melihat revisi UU KPK bukan hanya di level pemberantasan korupsi. Tapi pemberantasan korupsi harus kita lihat di dalam politik nasional yang lebih luas. Kalau kita kaitkan dengan beberapa UU yang merepresi rakyat, maka sebetulnya ini adalah perulangan yang terjadi sebelum 1998 atau Orde Baru," kata Asfina di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (3/11/2019).
"Orba sebetulnya adalah cerita korupsi yang luar biasa yang dijalankan oleh sistem negara itu sendiri, oleh pemerintahan yang akibatnya ada kelemahan-kelemahan politik, baik politik warga maupun politik dari parpol, termasuk oposisi. Dan semua itu tujuannya adalah mengambil dari akumulasi uang yang didapatkan dari mega-mega korupsi," ujar Asfina.
Asfina menyebutkan, untuk melaksanakan praktik megakorupsi, diperlukan tiga elemen untuk 'menertibkan rakyat'. Salah satu elemen tersebut adanya aksi-aksi yang dibalas dengan tindakan represif.
"Untuk menjalankan megakorupsi itu perlu ada sebuah penertiban rakyat dan semua elemen itu tiga elemen itu sekarang sedang terjadi sekarang. Kita tahu banyak ribuan yang ditangkap berdasarkan keterangan polisi sendiri. UU yang melemahkan kekuatan-kekuatan politik seperti UU Ormas muncul dan juga tidak ada lagi oposisi sudah bersatu, dan pemberantasan korupsi memang tujuan utamanya dilemahkan," kata Asfina.
"Jadi, menurut kami, tidak dikeluarkanya perppu terhadap revisi UU KPK adalah sebuah lonceng bahwa kita resmi masuk ke dalam semacam Orde Baru atau bisa kita sebut sebagai neo Orde Baru," imbuhnya.
Asfina mengaku tak heran terhadap sikap Jokowi yang memberi kode belum menerbitkan Perppu KPK dengan alasan menunggu uji materi di MK. Asfina menilai sikap Jokowi sudah tersirat saat mengirimkan Surpres untuk membahas revisi UU KPK di DPR.
Ia menilai makna tidak dikeluarkannya Perppu KPK itu akan mengesahkan pembentukan Dewan Pengawas--yang diyakini memiliki banyak kewenangan di atas komisioner. Akan tetapi ada beberapa pasal dalam UU KPK yang baru itu bertentangan dengan pasal lainnya.
"Khususnya di pasal-pasal peralihan, misal Pasal 70, pasal 69, Pasal 70D. Jadi pasal-pasal tersebut mengatakan begini, ada yang mengatakan, sebelum Dewan Pengawas dibentuk, maka fungsi dari KPK akan tetap dijalankan sebelum ada revisi UU KPK. Tetapi di pasal yang lain juga, di pasal peralihan juga disebutkan, bahwa setelah ada UU ini maka semua mengikuti UU ini," kata Asfina.
Ia mengatakan pasal-pasal yang diduga bertentangan itu dikhawatirkan bisa menghambat proses penegakan hukum yang dilakukan KPK. Ia khawatir hakim akan mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan tersangka dengan pasal yang bertentangan.
"Sehingga kita bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau KPK menggunakan tafsir yang paling menguntungkan untuk dirinya selalu ada kemungkinan tindakan KPK yang menggunakan pasal tadi, sebelum ada Dewan Pengawas, maka fungsinya masih akan seperti semua, akan ada selalu kemungkinan tindakan KPK itu dipraperadilankan dan dikalahkan oleh hakim," kata Asfina.
"Jadi hakim bisa menggunakan pasal yang mana saja untuk menafsirkan pasal yang saling bertolak belakang. Dari dua pasal ini saja sudah jelas pemberantasan korupsi berada di dalam bahaya," sambungnya.dtc