Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Dari 27 kabupaten/kota di Sumatra Utara penerima dana desa, baru tiga di antaranya yang hingga hari ini sudah menggunakannya 100% dari yang dikucurkan. Ketiganya; Kabupaten Tapanuli Tengah, Serdang Bedagai dan Samosir. Sisanya sebanyak 24 wilayah masih kurang.
Penyebabnya karena berdasarkan evaluasi terhadap beberapa desa laporan tahap II penggunaannya belum bisa dipertanggungjawabkan. Dana berikutnya belum dapat dikucurkan kendati sudah berada di rekening kas um daerah kabupaten.
Sebagaimana ditentukan, dana desa dikucurkan dalam tiga tahap; I, II dan III. Di Nias Selatan, realisasi tahap II baru 26%. Sementara di Gunung Sitoli baru mencapai 35%.
"Ada bermacam faktor penyebab lambannya penggunaan dana desa tersebut, bisa saja karena jauhnya desa dari pusat kota," kata Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Sumut, Aspan Sofyan, pada rapat dengar pendapat dengan Komisi E DPRD Sumut (2/12/2019).
Kata Aspan, secara berturut-turut dana desa yang dikucurkan pemerintah pusat ke Sumut adalah; tahun 2015 (Rp 1,46triliun), 2016 (Rp 3,29T), 2017 (Rp 4,19T), 2018 (Rp 3,89T) dan 2019 (Rp 4,45T). Dana tersebut dikucurkan ke 5.417 desa.
Pada 2015, kayanya, proporsi penggunaan dana desa sebesar 70% untuk pembangunan infrastruktur. Sisanya 30% untuk pemberdayaan. Setelah itu, pada 2016 hingga sekarang berubah menjadi 60% infrastruktur dan 40% pemberdayaan.
"Kecenderungannya ke depan akan seperti itu, proporsinya lebih besar untuk pemberdayaan," tegas Aspan.
Terkait hal ini, Komisi E menyatakan keprihatinannya terhadap pengawasan penggunaan dana desa yang semrawut alias asal-asalan. Seperti dikatakan salah seorang anggotanya, Budieli Laia (PDI Perjuangan), tidak ada formula pengawasan yang benar-benar baik agar dana desa yang tidak kecil tak serampangan.
Berdasarkan pengamatannya sebagai anggota DPRD Kabupatennya Nias Selatan selama tiga periode sebelumnya, ada kepala desa yang baru satu tahun menjabat sudah bisa membeli mobil double cabin. Juga punya rumah.
"Di kampung saya inspektorat suka bertindak macam-macam. Karena dia merupakan perangkat bupati seenaknya minta uang ke camat," ujar Budieli pada rapat dengar pendapat dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (2/11/2019).
Anggota lainnya, Mahyarudin Salim Batubara (Golkar), menyatakan, di daerah pemilihannya di Asahan, saat memantau penggunaan dana desa tidak pernah bertemu dengan pendamping desa. Hal itu sangat rentan menyebabkan penggunaan dana desa tidak benar.
Dia mempertanyakan proses rekrutmen tenaga pendamping desa yang tidak diketahui publik prosesnya seperti apa. Juga kwalifikasinya.
"Di desa sangat rentan penyelewengan dana, apalagi di desa tidak ada polisi. Yang ada Babinsa atau Babinkamtibmas," ujar Mahyaruddin.
Pdt. Berkat Kurniawan Laoli dari Nasdem menyebutkan tak jarang terjadi upaya paksa oleh aparat desa guna menghabiskan dana desa. Misalnya, dengan membuat surat perjalanan dinas ke kota. Alasannya untuk pembelian berbagai kebutuhan.
Terhadap kritik pada anggota legislatif tersebut, Aspan menyatakan saat ini berbagai lembaga bersinergi melakukan pengawasan terhadap penggunaan dana desa. Sejak tahun ini inspektorat provinsi sudah diperkenankan turun melakukan pengawasan.
Selain itu, Kejaksaan Agung, Polri dan juga Kemendagri.