Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Keberadaan Selat Malaka, sejak abad ke-17 sampai sekarang menjadi salah satu rute perdagangan terpenting di dunia. Hingga saat ini, 6.000-94.000 kapal melewati Selat Malaka setiap tahunnya. Jumlah ini 3 kali lipat dari Selat Panama dan 2 kali lipat dari Suez.
Demikian dijelaskan Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana dalam seminar nasional "Selat Malaka: Perspektif Hukum, Ekonomi Sosial dan Politik". Seminar berlangsung di Biro Administrasi Universitas Sumatra Utara, Jalan Dr Mansyur, Medan, Rabu (11/12/2019).
"Karena pentingnya Selat Malaka ini, banyak negara yang menawarkan jasanya untuk menangani persoalan yang terjadi di selat ini," kata Hikmahanto.
Dijelaskan Hikmahanto, persoalan yang terjadi di Selat Malaka itu, antara lain, pembajakan, maupun kerusakan lingkungan (tumpahan minyak tanker maupun polusi).
Indonesia, sambung, Hikmahanto tidak menguasai sepenuhnya Selat Malaka karena geografis selat ini juga berada di negara Singapura dan Malaysia.
"Sudah ada kerja sama tilateral sejak 1971, namun persoalan di Selat Malaka masih terus terjadi dan paling parah di dunia. Indonesia sendiri kurang maksimal menangani masalah itu," jelas Hikmahanto.
Kendala-kendala yang dialami Indonesia, antara lain, infrastruktur yang kurang memadai, anggaran yang tidak cukup, penegak hukum yang sering memanfaatkan situasi.
"Indonesia memang menolak negara lain (di luar Singapura dan Malaysia) mencampuri persoalan di Selat Malaka, tapi harus kita akui, pemerintah kita sendiri belum mampu mengatasi persoalan itu," terangnya.