Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Ironis, meski Selat Malaka paling luas berada di wilayah Indonesia, namun hal itu tak sejalan dengan manfaat yang diperoleh. Justru sebaliknya, Indonesia lebih kerap memetik kerugian berupa tercemarnya lingkungan, pencurian ikan di selat sepanjang 800 km ini. Dari hitung-hitungan ekonomi, Indonesia hanya memperoleh kurang lebih Rp 1 triliun per tahun. Padahal Singapura memperoleh Rp 17 triliun dan Malaysia Rp 7,5 triliun.
"Di mana salahnya? Tentu banyak penyebabnya. Termasuk tata kelola dan penanganan hukum bagi pembajak dan pencemar lingkungan di Selat Melaka," jelas Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara (USU) Ediwarman dalam seminar nasional "Selat Malaka : Perspektif Hukum, Ekonomi Sosial dan Politik". Seminar berlangsung di Biro Administrasi Universitas Sumatra Utara, Jalan Dr Mansyur Medan, Rabu (11/12/2019).
Menurut Ediwarman, pembajakan dan perusakan lingkungan di Selat Malaka marak terjadi, juga karena sanksi hukum yang rendah. Sanski hukum itu tidak sesuai dengan dampak yang dihasilkannya. Untuk menjawab berbagai persoalan itu, sambung Ediwarman, pemerintah perlu membentuk Badan Otorita Selat Melaka yang di dalamnya terdiri dari TNI dan polisi dan para pakar.
Hal sama juga disampaikan pengamat ekonomi Sirojuzilam Hasyim. Dikatakannya, banjirnya produk luar negeri di Pantai Timur Sumatra membuat produk lokal Indonesia sama sekali tidak laku.
"Barang-barang yang beredar di Selat Malaka yang diproduksi dari Indonesia, tidak laku. Malah barang-barang sekond dari Singapura dan Malaysia yang kita beli. Kalau tidak percaya coba datang ke Tanjung Balai, waktu Lebaran. Apa yang diminum atau dimakan itu produk luar, bukan dari Indonesia," katanya.