Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah Indonesia dalam menjaga dan mengeksplorasi wilayah teritorial lautnya. Selama ini pemerintah terlena sampai kemudian merasa kecolongan saat hasil-hasil lautnya habis-habisan dirampok, khususnya yang terjadi di Selat Malaka.
Demikian salah satu point seminar nasional "Selat Malaka: Perspektif Hukum, Ekonomi Sosial dan Politik". Seminar berlangsung di Biro Administrasi Universitas Sumatra Utara, Jalan Dr Mansyur Medan, Rabu (11/12/2019).
Salah seorang pemantik seminar yang juga pakar hukum pidana Universitas Sumatra Utara (USU), Ediwarman, mengatakan, meski pemerintah sadar akan perampokan itu, tapi juga tak bisa berbuat apa-apa. Infrastruktur yang lemah, membuat petugas kesulitan mengatasi perampokan itu. Ditambah lagi masalah mental petugas yang sering memanfaatkan situasi dan menyalahgunakan wewenang.
Sebaliknya, selama ini Indonesia hanya mendapat limbah minyak tanker dan kerusakan ekosistem laut akibat pencurian ikan besar-besaran. Semua itu semakin kompleks dengan rendahnya hukuman pidana bagi kejahatan pencurian ikan.
"Perampok ikan paling-paling dipenjara 1-2 tahun dan denda 1-2 Rp miliar. Padahal yang mereka jarah luar biasa besarnya. Sehingga hukuman itu dianggap angin lalu saja dan tak membuat mereka jera," kata Edi.
Padahal, sambung Edi, sudah ada aturan yang berlaku di dunia, hukuman bagi perampok ikan minimal 6 tahun penjara dan denda minimal Rp 20 miliar. Akibat perampokan itu, Indonesia pun hanya bisa memperoleh Rp 1 triliun, jauh dari Singapura (17 triliun) dan Malaysia (7,5 triliun) per tahun. Angka yang sangat kecil mengingat Selat Malaka sebagian besar berada di wilayah Indonesia (800 km sepanjang pesisir Pulau Sumatra).
Sebelumnya, pakar ilmu komunikasi internasional dari Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan, banyak negara yang menyayangkan lemahnya perlindungan dan pemanfaatan Selat Malaka oleh pemerintah Indonesia. Namun mereka tidak bisa "masuk" karena Selat Malaka secara geografis berada di Indonesia, Malaysia dan Singapura.
"Beberapa negara sudah ada yang menawarkan jasa terutama untuk mengatasi kerusakan lingkungan, tapi sikap Indonesia menolak. Menurut pemerintah hal itu menjadi tanggungjawab ketiga negara," kita Hikmah.