Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Media sosial menjadi momok bagi sebagian orang yang pernah terlukai olehnya. Pemicu luka itu diakibatkan oleh hoax dan hate speech yang dilontarkan orang yang tidak dikenal mengenai apa yang ada dan apa yang terjadi pada dirinya. Kita tentunya sebagai pembaca awam merasa sangat miris dengan konten-konten yang merajai media sosial saat ini. Tak jarang berita mengenai kasus hoax dan hate speech menjadi hal trending yang dibaca masyarakat di negeri berkembang ini.
Mudah tumbuh rasa percaya terhadap apa saja menjadikan masyarakat Indonesia lebih mudah mempercayai apa saja yang disebarluaskan di media sosial. Tak jarang beberapa di antara kita bahkan pernah menyebarluaskan hoax atau hate speech tersebut melalui akun media sosial tanpa memverifikasi apakah berita tersebut benar adanya atau tidak.
Tingginya tingkat pengguna internet di Indonesia menjadikan semakin mudahnya informasi menyebar dengan cepat. Karena kita dapat dengan mudah dapat mengakses internet di mana dan kapan saja tanpa harus membuang waktu menanyakan berita dari mulut ke mulut. Inilah salah satu yang menjadi kelebihan sekaligus kelemahan dalam bermedia sosial.
Jarimu adalah harimau mu merupakan penggambaran bagaimana media sosial dapat menjadi senjata ataupun boomerang karena ambu-rambu kode etik acap kali diterobos, sehingga apa yang dipublikasikan sering kali berbalik ke dirinya sendiri. Maka dari itu, literasi media dan digital parenting sangat penting untuk dimengerti dan diketahui oleh masyarakat luas guna melawan bahkan meminimalisir keberadaan hoax dan hate speech.
Literasi media adalah kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengkomunikasikan pesan dan informasi dalam berbagai bentuk media. Masyarakat belajar menggunakan teknologi digital, alat komunikasi dan internet. Hal ini tentu perlu dimiliki oleh orang tua yang memiliki anak yang lahir pada era milenial saat ini. Generasi Z (lahir di atas tahun 90-an) yang biasa dikenal dengan istilah digital native. Digital native adalah gambaran bagi seseorang (terutama anak hingga remaja) yang sejak kelahirannya telah terpapar gencarnya perkembangan teknologi.
Para digital native percaya bahwa belajar dapat dilakukan dengan cara yang menyenangkan, misalnya sambil menonton TV, bermain games, atau mendengarkan musik sambil menonton Youtube. Sedangkan, generasi sebelumnya berpandangan tidak ada proses belajar yang bisa dilakukan dengan cara seperti itu. Belajar adalah proses yang memang seharusnya tidak diiringi aktivitas menyenangkan. Perbedaan pola pikir inilah yang membuat orang tua yang lahir pada generasi sebelumnya kesulitan memahami digital native, sehingga diperlukan digital native education bagi mereka agar bisa mengikuti dengan baik perkembangan zaman saat ini. Jika tidak, maka akan terjadi banyak ketimpangan dan kesalahan yang diakibatkan oleh ketidakpahaman generasi sebelum digital native. Maka dari itu keterlibatan peran orang tua dalam mendampingi anaknya menghadapi era digital harus orang tua miliki agar tidak terkecoh dengan kecanggihan zaman sekarang. Keahlian tersebut berupa cara berkomunikasi terhadap anak cara memproteksi gadget anak, cara membuat kesepakatan kepada anak, dan sebagainya.
Digital parenting merupakan model pada pengasuhan anak yang disesuaikan dengan kebiasaan anak yang begitu akrab dengan perangkat digital. Stephen Balkam, mengemukakan strategi yang perlu diterapkan orang tua dalam mendidik anak menggunakan digital, yaitu kita sebagai orang tua harus memperkenalkan digital kepada anak sedini mungkin. Kemudian, kita juga harus mengerti dan belajar beradaptasi dengan internet agar dapat memberi pengetahuan kepada anak tentang digital. Dilanjutkan dengan fungsi kontrol digital, kita dapat melakukannya dengan bantuan aplikasi penyaring konten yang ada pada gadget.
Walaupun kita telah melakukan pengawasan terhadap penggunaan gadget pada anak, kita sebagai orang tua harus mampu memberikan batasan waktu penggunaan gadget dan memberi ketetapan maupun sanksi yang harus diterima ketika anak melanggarnya.
Langkah berikutnya yang harus dilakukan orang tua bijak adalah dengan tidak mengekang anak dalam menggunakan gadget. Ada baiknya kita sebagai orang tua merangkap sebagai teman anak untuk dapat mengeksplor dunia digital bersama-sama dan berteman dengan anak di media sosial miliknya. Terakhir, kita harus menjadi teladan bagi anak dalam berbagai aspek kehidupan.
Orang tua belum paham betul apa manfaat dari literasi media digital ini sebenarnya. Orang tua hanya tahu sebatasnya saja. Hal ini disebabkan karena kurangnya ilmu dan pemahaman yang orang tua miliki. Sehingga dengan pengetahuan yang terbatas tersebut motivasi para orang tua untuk meningkatkan literasi media digital pun tidak terbesit dipikiran mereka.
Maka dari itu cara mencegah terjadinya penyebaran hoax maupun hate speech adalah dengan menerapkan digital parenting kepada anak mengenai literasi media. Agar anak yang nantinya akan menjadi sumber berita menjadi tahu dan memilih berita seperti apa yang harus di sebarluaskan. Dengan begitu, penyebaran-penyebaran berita palsu maupun ujaran kebencian menjadi berkurang karena generasi Z telah memiliki pemahaman mengenai media dan digital.
==
*Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan identitas atau biodata diri singkat (dalam satu-dua kalimat untuk dicantumkan ketika tulisan tersebut dimuat). Panjang tulisan 4.000-5.000 karakter. Kirimkan tulisan dan foto (minimal 700 pixel) Anda ke email: [email protected].