Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Pergantian susunan kabinet Presiden Joko Widodo periode 2019 – 2024, termasuk Menteri Kelautan dan Perikanan kepada Edy Prabowo ( Gerindra ) dari Susi Pujiastuti yang banyak menerima apresiasi positif terutama dari nelayan tradisional dan penggiat lingkungan.
Selama lima tahun menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti telah membuat berbagai terobosan, dengan melahirkan kebijakan yang mencerminkan kedaulatan bangsa dan negara serta berorientasi pada perlindungan dan kelestarian lingkungan serta keberlanjutan sumber daya alam.
Berbagai permasalahan kelautan dan perikanan yang terjadi sekian lama, seperti penangkapan secara berlebihan (over fishing) dan pencurian ikan ( Illegal Fishing ), perusakan hutan mangrove, terumbu karang dan padang lamun. Secara langsung maupun tidak langsung sejatinya sangat berkotribusi terhadap kemiskinan masyarakat pesisir/nelayan tradisional.
Kebijakan yang tidak tepat dan rendahnya penegakan hukum ( law enforcement ) adalah persoalan utama yang dihadapi oleh Susi Pudjiastuti di awal jabatannya. Namun dengan cepat pemberatasan praktek Illegal fishing dan penghentian alat tangkap yang merusak lingkungan seperti pukat trawl ( harimau ) diberlakukan.
Karena praktek Illegal fishing dan intensifikasi yang berlebihan dengan pukat trawl dan sejenisnya, akan sangat berpotensi menyebabkan kerusakan terumbu karang dan ekosistem pesisir tempat berkembang biaknya habitat hewani laut, termasuk larangan ekspor benih kepiting dan udang lobster.
Pelarangan ekspor kepiting yang beratnya di bawah 200 gram dan lobster yang belum berumur setahun, adalah pilihan kebijakan yang sangat penting untuk menjaga kesinambungan dan perkembangbiakan kepiting dan udang lobster, sekaligus menjaga mutu dan kwalitas serta harga dari ekspor kepiting dan udang lobster.
Pergantian Menteri Pergantian Kebijakan
Kesinambungan program ternyata seperti terhenti dengan proses pergantian menteri, yang diikuti dengan pergantian peraturan dan kebijakan. Menteri Edy Prabowo dalam beberapa kesempatan terlihat berniat untuk merevisi sejumlah kebijakan yang dilahirkan oleh Susi Pudjiastuti.
Salah satu kebijakan yang sangat mungkin direvisi adalah dalam hal penenggelaman kapal penangkap ikan milik asing yang melakukan illegal fishing, bahwa KKP ( Kementerian Kelautan dan Perikanan ) tidak akan melakukan penenggelaman kapal, tapi akan menghibahkan kapal tangkap ikan asing yang melakukan illegal fishing kepada nelayan.
Kebijakan yang berbanding terbalik dengan kebijakan sebelumnya, justru praktek penenggelaman dilakukan, karena banyaknya ditemukan kapal asing yang melakukan illegal fishing berbendera dan menggunakan nama orang Indonesia untuk beroperasi melakukan illegal fishing diperairan indonesia.
Selain itu kapal asing yang di sita juga tidak mungkin dihibahkan kepada nelayan, karena ukuran kapal yang cukup besar ( rata – rata 30 – 200 GT ) dengan biaya operasional yang cukup mahal untuk nelayan terutama nelayan tradisional.
Sehingga sangat kecil kemungkinan dioperasionalkan oleh nelayan, dan pada akhirnya yang mendapat hibah kapal asing tentunya akan mencari pihak ketiga sebagai pemodal, atau menjual kembali kapal, terutama kepada pihak industri perikanan yang kemungkinan besar adalah pihak asing pemilik kapal sebelum ditangkap.
Kebijakan Menteri Edy Prabowo sepertinya sangat selaras dengan permintaan pihak industri perikanan, seperti Asosiasi Tuna Indonesia, yang meyalahkan kebijakan Susi Pudjiastuti, dan mendukung pencabutan seluruh pelarangan sebelumnya dengan alasan untuk mengembalikan gairah industri perikanan dan peningkatan ekspor produk perikanan.
Padahal ketika kebijakan pemberatasan Illegal fishing massif dilakukan oleh Susi Pujiastuti, ekonomi perikanan tumbuh cukup positif. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) rata rata pertumbuhan sektor perikanan mencapai 5,20 - 7,65 persen sepanjang tahun 2011 – 2018, angka yang lebih tinggi dari pada sektor pertanian dan kehutanan.
Kebijakan penenggelaman kapal, pelarangan ekspor benih kepiting dan udang lobster juga telah terbukti meningkatkan pertumbuhan ekonomi sektor perikanan, dengan meningkatnya stok dan ekspor perikanan Indonesia.
Neraca perikanan Indonesia menjadi yang terbaik di antara negara-negara Asia Tenggara dan mengalami kenaikan setiap tahunnya. Ekspor perikanan juga terus meningkat sekitar 10-12 persen setiap tahun, bahkan pada semester I 2019, ekspor meningkat hingga 24,29 persen dibanding semester I 2018, yakni mencapai Rp40,57 triliun.
Peraturan Menteri KKP Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Wilayah Negara Republik Indonesia dilakukan untuk menjaga keberadaan lobster di masa depan. Dengan tidak menangkap indukan dan benih lobster, diharapkan populasinya di alam akan mendatangkan keuntungan jangka panjang bagi nelayan.
Sedangkan, Edhy Prabowo justru berkeinginan untuk membuka ekspor benih lobster, dengan alasan pelarangan ekspor benih lobster dan kepiting telah membuat tingginya penyelundupan dan tingginya potensi ekspor dengan harga benih lobster di Vietnam mencapai Rp 139 ribu per ekor, dan benih lobster tangkapan nelayan hanya dihargai Rp 3-5 ribu di dalam negeri.
Pertanyaannya bukankah harga lobster dan kepiting dewasa jauh lebih tinggi ? kenapa tidak mendorong pengembangan dan pembesaran didalam negeri ? atau memberikan nelayan pengetahuan dan kemampuan untuk proses pembesaran benih ? dan bagaimana jika ekspolitasi secara intensif terjadi ? bukankah akan menghabiskan benih di perairan sendiri ? dan kenapa bukan penyeludupannya yang diproses hukum ?
Mundurnya Kebijakan Kelautan dan Perikanan
Kemungkinan akan kembalinya pengelolaan sumber daya pesisir dan kelautan yang bernuansa ekspolitatif, dan mengabaikan kesinambungan ekosistem sangatlah besar. Padahal sumber utama kemerosotan perikanan sebelum kebijakan Menteri Susi Pudjiastuti adalah metode pendekatan eksploitatif dan intensifikasi yang telah terbukti mengalami kegagalan.
Pendekatan intensifikasi yang berorientasi pada penyuplai permintaan pasar, justru akan memperlebar ketimpangan akses sumber daya kelautan, dimana penguasaan sumber daya kelautan akan lebih didominasi oleh industri perikanan dengan menggunakan alat tangkap yang merusak lingkungan seperti pukat trawl/harimau.
Bahkan besar kemungkinan akan mengembalikan potensi konflik horizontal yang sering terjadi antara nelayan dengan kapal pengusaha berbentuk trawl dan sejenisnya, yang sering ditutupi dengan dalih kecemburuan sosial, padahal inti masalahnya adalah terganggu habitat dan ekosistem yang menjadi sandaran hidup Nelayan.
Secara sederhana langkah mundur kebijakan dalam sektor kelautan dan perikanan ini, merupakan gambaran ketertundukan negara terhadap kuasa modal dengan segala pragmastisme pasar dan sisi komersial, yang tidak menimbang hajat hidup masyarakat pesisir dan nelayan tradisional bahkan generasi berikutnya.
*Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Indonesia (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan identitas atau biodata diri singkat (dalam satu-dua kalimat untuk dicantumkan ketika tulisan tersebut dimuat). Panjang tulisan 4.000-5.000 karakter. Kirimkan tulisan dan foto (minimal 700 pixel) Anda ke [email protected].