Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Seiring dengan banyaknya media cetak yang tutup, sastrawan kehilangan tempat untuk mempublikasikan karyanya. Bila pun masih ada yang bertahan, biasanya menutup halaman sastranya. Keadaan itu tak memberi pilihan bagi sastrawan, selain salah satunya, memanfaatkan media sosial, semacam FB, untuk mempublikasikan karya-karyanya.
Kondisi ini juga menjadi pembahasan dalam bedah buku puisi "Meretas Jalan Sunyi" karya Tsi Taura dan Porman Wilson Manalu. Bedah buku digelar di Sanggar Tari, Taman Budaya Sumatra Utara, Jalan Perintis Kemerdekaan, Medan, Jumat sore (20/12/2019).
Salah seorang pemantik diskusi, Juhendri Chaniago mengungkap tanya, apakah menjadikan FB sebagai pengganti media cetak itu, sebuah pilihan atau keterpaksaan. Pasalnya, sambung Juhendri, seorang penyair yang memposting puisinya di FB, lebih kepada ekspresi saja, beda hal bila di media cetak.
"Kalau di media cetak, sudah jelas ada kurasi oleh redaktur yang biasanya juga seorang sastrawan. Karya yang dimuat juga mendapat honor. Dengan kata lain, itu semacam ujian kelulusan," jelas anggota Komunitas Sastra Indonesia ini.
Selanjutnya, bagaimana nasib sastra bila tak ada lagi penyaringan karya dan kemudian setiap orang yang menulis puisi di FB, bisa disebut sastrawan, tanya Juhendri.
"Saya tidak meragukan Porman maupun Tsi Taura. Karena jauh sebelum media sosial ada, mereka juga sudah dikenal sebagai sastrawan yang intens menulis di media cetak. Kini mereka menyebut dirinya, 'penyair facebook'. Bisa jadi itu penyesuaian," kata Juhendri.
Diskusi ini dihadiri belasan sastrawan dan pegiat seni lainnya yang ada di Sumatra Utara. Antara lain, Sugeng Satya Dharma, Suyadi San, Agus Susilo, Hafiztaadi, Ayub Badrin dan lainnya. Pemantik lainnya adalah pengamat sastra Mihar Harahap dan diskusi dimoderasi oleh Teja Purnama.