Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Humbahas. Tradisi marbinda (menyembelih-red) hewan, khususnya babi merupakan kegiatan umumnya dilakukan masyarakat suku Batak menjelang Natal dan Tahun Baru. Marbinda juga kerap juga dilakukan kelompok masyarakat pada setiap acara menyemaikan padi, musim panen padi dan juga pada hari perayaan Paskah.
Tradisi marbinda ini juga direncanakan dengan matang, meskipun tidak seperti level perencanaan pembangunan nasional. Pembiyaaan dengan swadaya atau gotong royong (marsiruppa- red). Zaman dahulu dan masih berlangsung di sebagian daerah, sistem pembayaran binda adalah barter. Artinya, daging babi dibayarkan​ dengan padi setelah selesai masa panen di sawah. Sedangkan zaman sekarang, pembiataa marbinda diberikan secara mencicil tiap bulan hingga terkumpul dalam setahun. Ada juag dibentuk panitianya.
Marbinda merupakan momen yang ditunggu tunggu oleh keluarga. Karena di saat itu keluarga makan "besar" bersama kelyarga masing-masing.
"Marbinda hari yang ditunggu-tunggu. Terbayang akan makan daging porsi jumbo.marbinda,merupakan bagian kepercayaan ,bahwa kita mampu membayarnya," kata tokoh masyarakat Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara, P Silaban (72).
Kata P Silaban, perayaan Natal dan Tahun Baru merupakan momen yang ditunggu-tunggu masyarakat Batak pada umumnya. Karena saat itu masing-masing keluarga akan makan daging hasil marbinda. Momon tersebut dimanfaatkan keluarga kumpul bersama.
"Natal dan Tahun Baru erat dengan tradisi marbinda, karena​ hari yang ditunggu tunggu dengan acara resepsi makan bersama dengan keluarga dengan lauk daging daging bab. Suka cita bagi seorang anak. Makan Natal dan Tahun Baru tidak begitu meriah ketika daging tidak tersedia," terang P Silaban.
Keunikan dan cerita marbinda bagi seorang anak tidak ada habisnya. Pada hari marbinda itu sekumpulan anak akan berjajar dan antre lengkap mengambil daging, lengkap dengan mangkok tempat darah.
Seiring dengan waktu, tradisi marbinda semakin luntur. Padahal, acara marbinda bukan semata-mata hanya bagi-bagi daging, tetapi sebagai ajang jalinan silaturahmi untuk tetap mempererat rasa persaudaraan, satu perasaan dan sepenanggungan. Karena saat itu warga yang dewasa berkumpul untuk memotong hewan bersama-sama.
"Banyak masyarakat memilih daging yang dijual di rumah potong, karena lebih efisien dan menghemat waktu. Padahal, dari marbinda itu akan melatih sikap gotong-royong, konsistensi dan kesabaran," ngkapnya.
Seiring dengan waktu, kondisi perekonomian semakin meningkat, binda jenis hewan ternak babi sedikit tertinggal dan berganti dengan hewan ternak kerbau dan lembu.
"Binda babi lambat laun dilupakan. Masyarakat memilih daging lain, meskipun hewan babi dan kerbau akan selalu ada di setiap acara adat," kata tokoh masyarakat Kecamatan Siborongborong lainya, Sihombing (70).
Masalah kesehatan menjadi salah satu faktor mulai ditinggalkannya babi sebagai hewan untuk marbinda. Daging babi dinilai sebagai salah satu penyebab kolesterol. Padahal bila dibandingkan dengan daging sapi (jeroan sapi),malah tidak sebanding dengan kolesterol yang dikandung oleh daging babi.
Selain faktor kesehatan, mulai ditinggalkannya babi sebagai hewan untuk marbinda juga dikarenakan mewabahnya hog cholera yang menyerang 16 kabupaten/kota di Sumut. Ternak babi milik warga banyak yang mati. Sebagian warga takut mengkonsumsi babi. Padahal, instansi terkait sudha meyatakan bahwa dagung babi yang terinvenksi hog cholera aman untuk dikomsumsi.
Matinya ternak babi warga juga membuat kondisi ekonomi masyarakat memprihatinkan. Jangankan untuk marbinda, membeli kebutuhan sehari-hari keluarga juga sulit, apalagi di saat sekarang ini menjelang Natal dan Tahun Baru kebutuhan cuku banyak.
"Karena minimnya informasi terkait virus itu, masyarakat mulai sedikit bergeser meninggalkan kuliner daging babi," kata J Silaban.