Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Cucuk dan cabut. Pameo itu cocok ditujukan kepada Festival Danau Toba (FDT) yang semula ditadakan, tiba-tiba tetap diselenggarakan pada 2020 ini. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Utara, Ria Telaumbanua kepada medanbisnisdaily.com, Kamis (16/1/2020), menegaskan itu.
Rupanya, penyebabnya karena anggarannya telah tersedia di APBD 2020. "Tetap dilaksanakan dan anggarannya juga masih tetap ada," ungkap Ria.
Memang, sempat menjadi perdebatan hangat di kelompok-kelompok masyarakat dan menuai protes dari sejumlah bupati di kawasan Danau Toba,
Nah, pihaknya lebih dulu akan mengadakan rapat koordinasi dengan sejumlah pemerintah kabupaten/kota serta Badan Penyelenggara Otorita Danau Toba. Akan dibahas kapan diselenggarakan serta bagaimana konsep kegiatan. Apakah tetap FDT, atau diganti.
BACA JUGA: Selamatkan FDT dari Bibir Jurang
Selama ini sudah banyak kritik terhadap FDT. Mulai dari penyelenggara yang bergantian antarkabupaten di kawasan Danau Toba, sehingga ada lokasi yang minim fasilitas hotel hingga sarana jalan yang buruk.
Temasuk jadwal yang tidak tetap. Tidak ada atraksi kebudayaan yang memikat dan kurang melibatkan pemangku kebudayaan lokal. Juga tak bersinergi dengan Asita, asosiasi biro perjalanan dan PHRI sehingga mirip “pesta para pejabat.”
Tak heran jika penyelenggaraan FDT dua tahun terakhir ini berakhir mengecewakan. Alih-alih menyedot wisatawan asing, pengunjung malah sepi, dan hanya diramaikan anak sekolah pada saat seremoni pembukaan. Banyak pula pedagang yang merugi.
FDT memang harus dievaluasi. Apalah gunanya FDT 2020 tetap diselenggarakan jika kemudian tetap sepi. Energi habis, dana mubazir. Arang habis besi binasa.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana gerangan konsep FDT dengan format baru itu? Dilakukankah riset dan eksplorasi mendalam? Sekedar berbeda belaka, atau konsepnya memang cemerlang atau hanya asal-asalan?
Saya kira mindset tentang FDT harus dibongkar. Bukan sekadar kegiatan seremonial belaka, tetapi benar-benar merupakan peristiwa kebudayaan. Sebetulnya tak sedikit konsep yang pernah muncul di media, tapi hanya dianggap “angin lalu.” Masuk ke telinga kanan, keluar dari telinga kiri, Bro.