Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Dewasa ini, perilaku sebagian orang Batak cenderung semakin jauh dari nilai-nilai spiritual budayanya. Hal itu salah satunya dapat dilihat saat mereka melaksanakan adat. Makna adat bukan lagi sebagai tuntunan dalam menjalankan nilai-nilai budaya itu, tapi juga ajang pamer dan adu kekayaan.
Demikian kritik pemusik tradisi Batak, Martogi Sitohang dalam diskusi "Spiritualisasi Seruling", di Literacy Coffee, Jalan Jati II, No 1 Teladan Timur, Kota Medan, Jumat malam (24/1/2020).
"Sering kita dengar orang bilang begini waktu mau berpesta 'Nanti yang cantik itu kalian kasih ulosnya ya'. Tapi karena pihak yang mengulosi enggak ada uang, pihak yang diulosi pun memberi uang," kata Martogi.
Martogi menyebut, perilaku itu layaknya sebuah drama. Supaya kedua belah pihak yang berpesta itu terkesan berasal dari keluarga kaya. Padahal hal itu sesuatu yang dipaksakan.
"Jadi sudah jarang spritualitas itu dipraktikkan. Kebanyakan drama sekarang," ujarnya.
Selain itu, lanjut "Seruling Sang Guru" ini, ada pemaknaan yang salah dalam masyarakat Batak terhadap makna pargonci. Tidak semua pemusik tradisi Batak itu disebut pargonci. Pargonci itu adalah mereka yang mempunyai kemampuan bermusik, pengetahuan serta perilaku yang selaras sesuai dengan nilai-nilai spiritualitas budaya itu.
"Jadi kalau sebatas pandai main seruling, ya kita bilang pemusik seruling. Kalau pandai main taganing, kita bilang partaganing. Kalau pargonci itu sudah tinggi levelnya," jelasnya.