Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Upaya membangun pariwisata di Kawasan Danau Toba (KDT) dirasa begitu sulit. Hal itu salah satunya karena unsur-unsur stakeholder belum berada dalam "frekuensi" yang sama. Pemerintah, masyarakat, pemerhati maupun pelaku usaha, mempunyai pendapat sendiri-sendiri. Alhasil, tenaga, waktu dan biaya yang dikeluarkan jadi tidak efektif. Sebaliknya justru kurang produktif karena tidak jarang menimbulkan persoalan baru.
Demikian salah satu poin yang mengemuka dalam diskusi "Membangun Danau Toba dari Beragam Perspektif", di Caldera Coffee, Jalan Sisingamangaraja, No 132, Medan, Jumat malam (31/1/2020).
Diskusi menghadirkan pembicara dari beragam latar belakang profesi. Antara lain, Martogi Sitohang (pemusik etnis Batak) Sutrisno Pangaribuan (politikus) Rosramadhana Nasution (akademisi/antropolog) dan dimoderasi Rico Nainggolan.
"Sebagai pemusik, istilah saya kita perlu menyamakan frekuensi. Pemerintah, masyarakat, pelaku usaha, politisi, media, selama ini jalan sendiri-sendiri. Kalau tak sama frekuensinya, jadi beda-beda yang didengar," kata Martogi.
Martogi merasa yang terjadi adalah krisis kepemimpinan. Tidak ada yang bisa menjadi pemimpin dan dijadikan pemimpin.
"Kalau dalam musik, puncak kehebatan sebuah karya adalah ketika sampai menciptakan hening. Sunyi. Jadi intinya harus ada yang bicara, harus ada yang dengar, jadi frekuensinya sama," kata Martogi.
Sutrisno Pangaribuan mengkritisi pembangunan KDT menjadi begitu rumit, karena sejak awal konsepnya sudah salah. Ditambah lagi tidak ada riset yang dilakukan sebelumnya.
"Kita tahu Otorita Batam itu gagal, kenapa lagi dibuat badan semacam itu untuk pembangunan KDT. Belum lagi kalau dari sisi masyarakat yang tak diberdayakan. Infrastrukturnya dibangun, tapi masyarakatnya terusir," aku Sutrisno.
Dari sisi berbeda, antropolog yang juga akademisi dari Universitas Negeri Medan (Unimed) Rosramadhana Naustion mengungkapkan pendapatnya. Menurutnya, peran perempuan menjadi sangat penting diperhatikan dalam upaya mengembangkan KDT.
Selama ini, kata Rosramadhana, kelompok perempuan memegang kunci ekonomi di Tanah Batak. Merekalah yang paling sering berinteraksi langsung dengan turis. Termasuk di dalam keluarganya.
"Kalau mereka dilibatkan, diajak berdiskusi, dibina dan didengarkan pendapatnya, mungkin pintu masuknya sudah lebih terbuka. Tapi semua kepentingan harus diakomodir, jangan sampai pembangunan hanya untuk pengusaha dan penguasa," katanya.