Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Masyarakat selalu jadi yang tersalahkan dalam setiap pembangunan. Padahal, tak jarang, justru mereka yang jadi korban. Termasuk dalam konteks pembangunan di Kawasan Danau Toba (KDT) yang saat ini tengah gencar dilakukan. Demikian dikatakan salah seorang perserta diskusi "Membangun Danau Toba dari Beragam Perspektif", John Robert Simanjuntak. Diskusi ini berlangsung di Caldera Coffee, Jalan Sisingamangaraja XII Medan, Jumat malam (31/1/2020).
Menurut John yang juga Sekretaris Forum Sisingamangaraja XII ini, kalau pembangunan di KDT mengakomodir kepentingan masyarakat, pasti tidak akan mungkin ada penolakan di sana-sini.
"Saya contohkan misalnya. Kalau hotel-hotel yang mau dibangun, itu yang diuntungkan siapa? Siapa pemiliknya itu? Kenapa bukan homestay milik masyarakat yang dikembangkan?" jelas John.
Masyarakat itu korban, jangan lagi disalahkan. Contoh lain, sambung John. Para pedagang buah di sekitar KDT. Mereka itu dulunya petani, tapi karena disebut KDT akan menjadi kawasan pariwisata, mereka beralih profesi. Begitu beralih profesi, regulasi yang mengatur pariwisata itu tak jelas, dan tidak berpihak sama mereka.
"Mereka harus rela ganti profesi. Tapi pemegang kebijakan tak berpihak kepada mereka. Akhirnya mereka jual mangga, yang dibilang harganya mahal. Padahal mereka pun berjualan hanya seminggu sekali atau saat musim libur tiba," papar John.
BACA JUGA: Pembangunan Kawasan Danau Toba Terasa Sulit karena Krisis Kepemimpinan
Menanggapi itu, akademisi Universitas Negeri Medan Rosramadhana Nasution yang juga salah satu pembicara mengatakan, mandeknya komunikasi pemerintah kepada masyarakat terjadi karena pendekatan yang dilakukan tidak tepat strategi dan cenderung mengabaikan aspek kebudayaan. Termasuk tidak melibatkan kaum perempuan.
"Memang peran perempuan dalam budaya Batak itu mengikut laki-laki. Tapi kalau sudah urusan masa depan, urusan keluarga, urusan ekonomi, perempuan Batak itu punya kendali. Coba mereka ditanya, maunya mereka seperti apa, biar pemerintah jangan sor sendiri membangun ini-itu," ujar Rosramadhana.
Menurut Rosramadhana, sikap kritis masyarakat Batak itu merupakan karakter mereka. Tapi kalau tepat komunikasi dan tujuannya memang untuk kepentingan bersama, mereka pasti bisa menerima.
"Orang Batak itu sangat terbuka dengan kemajuan. Tapi kalau dirasa ada yang tidak pas, kritisnya bukan main. Jadi kalau ada penolakan di sana-sini, mungkin karena memang ada yang kurang mengena," tuturnya.