Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Manusia di masa sekarang sedang menikmati suatu fase kehidupan yang diwarnai oleh kecanggihan teknologi. Di hampir setiap rumah penduduk, kita dapat dengan mudah menemukan perangkat-perangkat elektronik seperti televisi, kulkas, mesin cuci, tape recorder, ponsel pintar, AC (pendingin ruangan), kipas angin, komputer, laptop, lampu dan lain-lain. Semua barang-barang itu merupakan bukti bahwa peradaban manusia semakin baik. Dengan barang-barang itu, banyak pekerjaan manusia menjadi tereduksi sehingga menghemat waktu dan tenaga.
Tapi, apa yang biasa kita lakukan dengan barang-barang elektronik itu ketika mengalami kerusakan dan tidak bisa diperbaiki? Umumnya kita akan cenderung melakukan dua hal: membuang atau menjual ke tukang loak. Entah itu dibuang atau dijual, menurut data dari National Geographic, barang-barang rongsokan yang telah menjadi sampah itu—selanjutnya disebut dengan limbah elektronik (E-Waste)—dominan berakhir menjadi tumpukan-tumpukan di tempat penimbunan sampah (landfill) untuk kemudian dibakar.
Berbahaya
Persoalan limbah elektronik kerap kali disepelekan. Banyak masyarakat yang belum paham soal ini. Terbukti dengan seringnya orang-orang suka menyimpan barang-barang elektronik mereka di gudang dan membiarkannya dalam waktu yang cukup lama bahkan sampai bertahun-tahun.
Dan memang ketika membahas masalah kepedulian pada lingkungan, kita sering membatasi ruang lingkup masalah dan pola pikir kita pada persoalan limbah pabrik, pencemaran air dan udara, sampah rumah tangga, sampah plastik atau sampah kertas. Kalau pun ada orang-orang yang sudah paham akan bahaya limbah elektronik, kebanyakan dari mereka relatif menemui kesulitan untuk mencari jalan keluarnya.
Saya tidak sedang mengatakan masalah-masalah lingkungan di atas tidak penting. Semua persoalan lingkungan yang saya sebutkan barusan sangat penting! Tapi, kita juga seharusnya memberikan porsi perhatian (concern) yang cukup seimbang terhadap problematika limbah elektronik. Pasalnya, limbah elekronik selalu mengandung B3 (bahan berbahaya dan beracun). Sebut saja merkuri, kromium, kadmium, timbal, arsenik, dan masih banyak lagi. Ketika kita memutuskan untuk mengubur, membuang sembarangan apalagi membakar limbah elektronik, dampaknya begitu serius dan fatal.
Para ahli kesehatan menyebut bahan-bahan kimia yang terdapat pada limbah elektronik sangat berbahaya bagi kesehatan dan bisa mengancam nyawa kita. Merkuri, misalnya, dapat mengakibatkan kerusakan sistem saraf otak dan cacat sejak lahir. Timbal bisa mengganggu peredaran darah, ginjal dan perkembangan otak pada anak. Kromium yang diserap sel bisa mengakibatkan keracunan dan kerusakan DNA. Itu hanya sebagian contoh kecil bahaya laten limbah elektronik.
Ini penting untuk sekedar memberikan peringatan kepada kita akan bahaya dari kebiasaan buruk kita yang suka membiarkan barang-barang elektronik bekas menumpuk dalam jangka waktu yang panjang.
Mencari Solusi
Jika tidak mendapatkan penanganan yang benar, limbah elektronik dikhawatirkan akan menjadi ancaman maha serius. Ibarat bola salju, apabila tidak dihentikan, dia akan meluncur terus ke bawah. Dan semakin meluncur, dia akan semakin membesar hingga sulit untuk dibendung.
Menurut PBB, pada tahun 2016 terdapat sekitar 44, 7 juta ton limbah elekronik di seluruh dunia. Jumlah ini diprediksi mengalami peningkatan tiga hingga empat persen setiap tahunnya seiring dengan masifnya perkembangan teknologi dunia dari masa ke masa. Pada tahun 2021 nanti, angka itu diprediksi akan mencapai 52 juta ton.
Bagaimana dengan di Indonesia? Limbah elektronik di negara kita juga senantiasa mengalami kenaikan setiap tahun sama seperti tren global. Masalahnya, kita seperti tidak melakukan antisipasi nyata terhadap masalah ini.
Dilansir dari lama detikX, menurut United Nations University, limbah elektronik Indonesia masuk kategori Inisiatif Informal atau tingkatan paling rendah. Negara dengan kategori seperti ini tidak memiliki aturan hukum soal limbah elektronik, memiliki keterbatasan fasilitas daur ulang yang resmi, dan pengelolaan limbah elektronik yang dikuasai oleh sektor informal.
Pada titik ini, pemerintah sangat diharapkan untuk segera merumuskan payung hukum yang kuat dan merespon masalah ini dengan mengacu pada kajian-kajian para pakar lingkungan dan kesehatan. Sebab ternyata dengan masalah limbah elektronik yang sudah sedemikian mengkhawatirkan, Indonesia baru sekadar memiliki fasilitas pemisahan komponen elektronik yang mengandung bahan mineral berharga seperti tembaga dan emas. Itu pun, menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, fasilitas yang dikenal dengan istilah dismantling ini masih terbatas di daerah-daerah seperti Batam, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Tangerang.
Pemerintah jugs perlu bermitra dengan para pakar kesehatan dan aktivis lingkungan guna memberikan edukasi dan sosialisasi tentang bahaya limbah elektronik. Setiap individu harus terinformasikan dan menjadi benar-benar paham bawa dampak negatif limbah elektronik juga bisa mengancam hingga ke anak cucu kita di masa mendatang.
Sebagai masyarakat awam, kita juga tidak boleh berpangku tangan dan hanya mengandalkan pemerintah. Sembari menunggu upaya-upaya dari pemerintah, setiap orang bisa mengambil peran meski sangat sederhana. Sebagai contoh, selama ini kita terbiasa menyatukan , misalnya, baterai bekas dengan sampah-sampah dari dapur. Mulai dari sekarang kita harus meninggalkan kebiasaan berbahaya itu. Caranya dengan membiasakan diri memisahkan antara limbah elektronik dengan limbah rumah tangga. Setidak-tidaknya dengan keterlibatan seperti ini, walau terkesan sangat sederhana, kita sudah turut membantu para petugas dari dinas kebersihan atau pihak-pihak pengelola sampah dalam penanganan limbah elektronik secara lebih baik.
===
Penulis adalah Kolumnis lepas, Guru SMP/SMA Sutomo 2 Medan dan Dosen PTS.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPG) dan data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 5.000-6.000 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]