Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - KPK melakukan kajian terhadap program pemerintah terkait pengelolaan sampah untuk energi listrik terbaru. KPK menilai program tersebut hingga saat ini belum berjalan efekfif.
"Program pemerintah untuk meningkatkan bauran energi melalui EBT dengan target sebesar 23% di 2025, namun sampai saat ini baru 10%," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di KPK Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (6/3/2020).
Padahal, menurut Ghufron, pemerintah telah mencanangkan pengolahan sampah menjadi energi listrik melalui pembangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Namun, PLTSa itu hingga kini tidak ada satu pun yang berjalan.
"Masalahnya, sampah menumpuk 64 juta ton pertahun sementara kita juga butuh energi baru terbarukan (EBT). Sejak 2016, telah dikeluarkan tiga Perpres untuk percepatan pembangunan PLTSa. Terakhir, adalah Perpres 35/2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Namun, hingga akhir tahun 2019 belum satu pun PLTSa berhasil terbangun," ujar Ghufron.
Ghufron mengatakan KPK menemukan banyak permasalahan terkait pengolaan sampah dengan PLTsa tersebut. Pertama, model bisnis kontaknya terpisah antara Pemda-Pengembang dan Pengembang-PLN sehingga berpotensi praktik bisnis yang tidak fair.
"Apa saja ketidakfairan itu? Pertama, tipping fee memberatkan Pemda, artinya apa biaya mengumpulkan sampah dari rumah tangga hingga ke tempat pengolahan sampah dianggap memberatkan daerah pakau anggaran APBDnya. Kedua, tarif beli listrik memberatkan PLN karena apa menggunakan model "take or pay" ataupun berapapun sampah didapat, dibayar sesuai perjanjian sehingga Kondisinya jumlah sampah tidak sesuai target kuota sampah," kata Ghufron.
"Jadi, kalau sampah tidak sesuai jumlah yang diharapkan tetap dibayar dengan harga standar, sebaliknya juga ketika sudah menjadi listrik, listriknya tidak sesuai yang diperjanjikan standar dan tegangannya kurang tetap dibayar sebagaimana. Kondisi ini hanya menguntungkan pengusaha," lanjutnya.
Sehingga, Ghufron menilai jika PLTsa itu dilanjutkan maka akan menambah beban anggaran pemerintah. Ghufron menyebut beban anggaran yang harus ditanggung pemerintah mencapai Rp 3,6 miliar per tahun. Menurut Ghufron, beban anggaran itu akan sangat signifikan mengingat kontrak PLTSa selama 25 tahun.
"Jadi yang semula berharap mengolah sampah itu bisa mengentaskan sampah menghasilkan energi ternyata inefisien bisa sampai Rp 3,6 triliun kalau dilanjutkan. Itu dihitung dari biaya langsung pengolahan sampah Rp 2,03 triliun yang disediakan per tahun untuk dibayarkan ke badan usaha dan perkiraan subsidi yang harus dibayarkan ke PLN sebesar Rp 1,6 triliun atas selisih harga tarif beli listrik PLTSa yang tinggi. Kedua, risiko beban anggaran ini menjadi signifikan mengingat masa kontrak PLTSa cukup panjang yakni 25 tahun. Per tahun saja bisa Rp 3,6 kalau kemudian kontraknya 25 tahun tentu bisa diperhitungkan besarnya," papar Ghufron.
Selain itu, Ghufron menyebut Peraturan Presiden (Perpres) terkait percepatan pembangunan instalasi pengolah sampah menjadi energi listrik berbasis teknologi ramah kurang optimal dan banyak kekurangan. KPK pun mendorong Perpres Nomor 35 Tahun 2018 itu direvisi.
"Perpres 35/2018 tidak cukup operasional dan memiliki banyak kelemahan, take or Ppay 3 pihak hanya menguntungkan swasta, sedangkan supply (sampah dan listrik) belum pasti tersedia dan risiko operasional dibebankan ke Pemda dan PLN. Kemudian kekuatan anggaran Pemda belum ada dan anggaran dalam APBN belum tentu tersedia, sehingga selisih tarif listrik PLTSa dibebankan ke PLN. Dan belum ada kasus teknologi PLTSa dengan waste to electricity yang sudah terbukti terimplementasi, sebaiknya dibuka opsi teknologi waste to energy," tuturnya. dtc