Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Pengaruh Hindu di Sumatra Utara telah banyak diuraikan sejumlah sejarawan maupun arkeolog. Namun penelitian tentang jejak Hindu di masyarakat Karo belum begitu banyak dibahas.
Salah seorang peneliti yang pernah meneliti tentang ini adalah dosen Ilmu Sejarah Universitas Sumatra Utara (USU), Suprayitno, yang akrab dipanggil Prayitno. Pada tahun 2018, ia melakukan penelitian tentang itu dan mempresentasikannya di Bali.
Kepada medanbisnisdaily.com, Rabu (25/3/2020) Prayitno menjelaskan, praktek keagamaan Hindu dalam masyarakat Karo masih dapat dilihat sampai sekarang di Desa Pintu Besi, Kecamatan STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang.
"Wilayah ini secara historis dikenal sebagai tempat bermukim orang Karo (Karo Jahe) yang dikenal dalam sejarah Deli dengan Sinuan Gambir. Di desa ini ada sekitar 50 kepala keluarga memeluk agama Hindu. Di desa ini terdapat pula Pura Persadanta, tempat ibadah umat Hindu," kata Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Sumatra Utara ini.
Keberadaan umat Hindu di desa ini ada sejak 1970. Namun pengaruh Hindu sudah lama hadir di desa ini. Dahulu mereka adalah pemeluk kepercayaan Pemena yang ada kesamaan dengan agama Hindu. Sejarah pengaruh Hindu di Tanah Karo, sambung Prayitno, dapat dilihat melalui tiga variabel, yaitu sejarah marga Sembiring, Sipemena (kepercayaan asli orang Karo) dan ritual erpangir ku lau.
Dari sekian banyak unsur-unsur pengaruh Hindu yang paling monumental adalah hadirnya merga Sembiring di Tanah Karo. Asal-usul orang Karo banyak dikaitkan dengan keberadaan Kerajaan Haru/Aru yang eksis di wilayah pesisir Sumatra bagian utara (abad 13-16 M).
Etimologi Karo diambil dari kata Haru. Dari sinilah diperkirakan terbentuknya nama Karo untuk suku bangsa yang menetap tidak hanya di tanah tinggi Karo, tapi juga di wilayah pesisir Deli dan Langkat. Jadi bisa dibenarkan jika nama Karo merupakan proses peralihan pengucapan dari kata Haru, sebab kerajaan Haru dipercaya dibangun oleh orang Karo.
"Sebelum marga Karo-Karo, Ginting, Sembiring, Tarigan dan Perangin-angin menjadi bagian dari masyarakat Karo, telah ada penduduk asli Karo pertama dengan marga Karo Sekali. Kedatangan marga Karo-Karo, Ginting, Tarigan dan Perangin-angin, membuat marga pada masyarakat Karo bertambah. Dipercaya mereka pendatang dari Gayo/Lingga, Simalungun, Dairi, Tongging. Marga Sembiring merupakan kelompok masyarakat yang datang paling akhir ke Tanah Karo," sambung Prayitno.
Marga Sembiring menurut penelitian sebelumnya, diidentifikasikaan berasal dari orang-orang Hindu Tamil yang terdesak oleh kehadiran pedagang Muslim di Bandar Barus dan Aru (Kota Cina). Mereka bergerak menembus pegunungan Bukit Barisan ke Dataran Tinggi Karo. Menurut Sangti, kondisi ini akhirnya membentuk merga si lima (Marga yang Lima) di Tanah Karo.
Proses pembentukan ini berkaitan dengan masalah keamanan sebagai jalan keluar mengatasi pergolakan antara orang-orang yang datang dari kerajaan Aru dengan penduduk asli. Dari sinilah muncul narasi-narasi sejarah dan asal kehadiran orang-orang Tamil yang beragama Hindu ke Tanah Karo, yaitu dari Haru dan Barus. Keduanya bisa dijustifikasi dengan data-data arkeologis sebagaimana dikemukakannya di atas.
Kerajaan Haru yang berpusat di sekitar Belawan (kota Cina) dipandang sebagai komunitas politis yang lebih awal menyerap pengaruh Hindu. Berdasarkan data-data arkeologis yang ditemukan di Situs Kota Cina, mengindikasikan bahwa pengaruh Hindu sudah sampai ke pesisir pantai Timur sejak abad-abad ke 11 M.
"Dari sini rakyat Haru yang beragama Hindu, setelah agama Islam masuk ke Haru, lebih memilih migrasi ke dataran Tinggi Karo. Jika sebuah sumber lisan menyatakan seorang pendeta Hindu dari Kerajaan Haru, karena sebab perang melawan kerajaan Pasai mengungsi dan menetap di Kuta Buluh di dataran Tinggi Karo, maka bisa jadi itu benar," ujarnya.
.