Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Anak-anak ibarat bak penampungan air yang masih kosong. Apabila diisi dengan air kotor, bak itu pun akan menjadi kotor. Tapi, jika diisi dengan air bersih, dia akan menjadi bersih pula. Bahkan, bak itu akan memberi manfaat. Karena air bersih di dalamnya bisa digunakan untuk mencuci, mandi, masak dan lain sebagainya. Air bersih dan kotor dalam analogi itu adalah lingkungan yang mempengaruhi tumbuh kembang anak di dunia nyata.
Mendikbud Nadiem Makarim belum lama ini mengkampanyekan program merdeka belajar. Dalam pidatonya beliau berkata, “Merdeka belajar adalah kemerdekaan berpikir, terutama esensi kemerdekaan berpikir itu ada di guru dahulu. Tanpa terjadi di guru, tidak mungkin terjadi di peserta didik”.
Jika menilik pada analogi soal bak penampungan air barusan, perspektif merdeka belajar seharusnya bukan menjadi tanggung jawab yang melekat hanya pada aparatur institusi pendidikan (baca: guru dan dosen). Semestinya konsep itu harus tereskalasi secara berurutan dari keluarga, sekolah dan masyarakat. Sebagaimana yang Ki Hadjar Dewantara cetuskan, sinergitas dari tiga pilar—Tripusat Pendidikan, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat sangat menentukan keberhasilan pendidikan.
Logical Fallacy
Fondasi kemerdekaan berpikir harus diletakkan di keluarga. Karena pada dasarnya keluarga menjadi lingkungan awal dimulainya pembelajaran. Sayangnya, justru dalam keluarga kemerdekaan berpikir itu acap kali direnggut. Orang tua yang diplot sebagai pendidik pertama dan terutama sering gagap dan tidak siap dengan mandat itu.
Terbelenggunya kemerdekaan berpikir lahir dari kekeliruan berpikir (logical fallacy). Dalam keluarga ini bisa timbul tatkala orang tua menggunakan otoritas mengasuh anaknya secara salah kaprah. Masih banyak orang tua terpasung oleh gaya mendidik lawas ala reward (penghargaan) dan punishment (hukuman).
Jika anak melakukan hal-hal yang dianggap baik, dia akan diberikan penghargaan. Bisa dengan membelikan barang kesukaan anak, mengajak liburan, memberikan uang saku tambahan, dan lain-lain. Sebaliknya, ketika anak dianggap salah karena melakukan hal-hal tidak baik, dia akan mendapatkan hukuman. Lucunya, indikator baik dan buruk dimonopoli oleh orang tua. Tidak pernah dikomunikasikan secara kontekstual. Hanya sebatas dogma sepihak. Tanpa teladan orang tua. Misalnya, anak-anak diminta untuk taat beribadah. Sementara ayah dan ibu, dibalut dengan sejuta alasan, jarang atau tidak pernah melakukannya. Alhasil kriteria mana yang baik atau buruk menjadi ranah abu-abu bagi anak-anak.
Dalam teori Stimulus-Response oleh BF Skinner, reward dan punishment memang mampu mengkonstruksi perilaku sosial seseorang. Perilaku positif akan cenderung berulang karena diberikan reward. Sementara perilaku negatif akan cenderung dihentikan karena adanya ganjaran punishment. Hanya, dalam konteks mendidik anak, jika tidak dilakukan secara proporsional, pendekatan itu punya celah untuk gagal. Sebab kemauan anak untuk belajar muncul hanya karena berharap pada penghargaan semata. Bukan karena kesadaran akan pentingnya membangun kualitas diri dengan ilmu pengetahuan. Dan, kemauan itu juga hadir karena didasari oleh rasa takut terhadap hukuman. Belajar karena rasa takut tidak akan efektif untuk mengeksplorasi bakat dan potensi diri.
Lunturnya Kemandirian Berpikir
Karena fondasi awal yang tidak kokoh, akhirnya banyak anak-anak yang tumbuh dalam kerapuhan. Anak-anak tidak dibiasakan mendapatkan otonom berpikir sejak dini. Mereka tidak diberikan kesempatan untuk mengungkapkan apa yang mereka suka. Mereka harus mengikuti kata-kata orang tua. Anak-anak yang menurut, dianggap patuh. Anak-anak yang tidak menurut, dianggap pembangkang.
Gagasan Mendikbud melalui program Merdeka Belajar mudah-mudahan akan menjadi lembaran baru bagi pendidikan Indonesia. Namun sebaiknya konsep itu tidak sebatas pada reformasi administratif dan birokrasi semata. Melainkan harus mampu menyasar pada masalah kekritisan berpikir yang kian kronis.
Keterbelengguan berpikir menyebabkan kepercayaan diri anak-anak tergerus. Antusiasme dalam belajar menghilang. Bagi mereka sekolah tak ubahnya seperti penjara. Menariknya, penjara malah punya beberapa sisi yang lebih baik. Setidaknya demikian pandangan George Bernard Shaw. Novelis Irlandia itu mengungkapkan bahwa di penjara, orang-orang tidak dipaksa membaca atau duduk mendengarkan ceramah seperti yang dialami para pelajar. Di penjara, para tahanan mungkin disiksa secara fisik. Akan tetapi di sekolah yang disiksa bukan raga melainkan otak (baca: nalar berpikir).
Jika dibiarkan, negeri ini mungkin hanya akan menghasilkan generasi-generasi yang kemampuan berpikir kritisnya lemah, tidak inovatif dan tidak kreatif. Sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Bumi Manusia menasihati kita soal pentingnya belajar berlaku adil sejak dalam pikiran. Kemampuan bersikap adil yang dimulai dalam pikiran bermuara pada kemerdekaan berpikir. Beban itu harus kita pikul bersama-sama. Membiarkan sekolah sendirian memangku tugas berat ini tak ubahnya seperti menguras air laut dengan sebuah sendok. Pekerjaan itu hanya akan berujung pada kesia-siaan belaka.
===
Penulis dosen STIE Eka Prasetya dan guru SMP/SMA Sutomo 2 Medan.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPG) dan data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 5.000-6.000 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]