Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Salah satu yang paling sulit dilakukan oleh manusia adalah “berbagi” (share it). Dalam tradisi orang Batak banyak dijumpai terjadi konflik hanya karena berbagi warisan. Dengan dalil pembagian tidak adil, maka perselisihan pun terjadi. Kemudian, pengusaha yang merupakan pemilik modal di negara mananpun juga sangat sulit untuk melakukan paradigma berpikir “berbagi dengan adil”. Dalam alam pikiran pengusaha yang ada di benaknya adalah mari kita sisakan untuk buruh, bukan mari menyisihkan (berbagi) untuk buruh. Pandangan pengusaha kadang sangat ekstrim kepada buruh dengan sebuah kalimat, tanpa saya buruh tidak makan. Konsep ini harus diubah sebagai sebuah revolusi berpikir dengan pernyataan, tanpa buruh saya tidak bisa sukses.
Berbicara tentang buru yang secara nasional menjadi sebuah peringatan khusus pada tanggal 1 Mei selalu menyisakan problematika kebangsaan dari tahun menahun. Entah siapa yang salah kita tidak tahu pasti. Setiap tanggal 1 Mei selalu ada sebuah tuntutan dengan sebuah agenda yang sama: “perbaiki kesejahteraan buruh” (improve labor welfare). Apakah kesejahteraan buruh masih jauh dari apa yang diharapkan? Ini tentu pertanyaan reflektif di hari buruh yang sedang kita peringati saat ini.
Sebagaimana yang kita ketahui, May Day awalnya ada ketika peristiwa unjuk rasa sebanyak 400.000 buruh di Chicago, Amerika Serikat pada 1 Mei 1886 menuntut pengurangan jam kerja. Namun pada 4 Mei, polisi Amerika melakukan tindakan brutal dengan menembaki para demonstran hingga mengakibatkan ratusan orang tewas dan pemimpinnya dihukum mati. Peristiwa ini tentu sebuah sejarah buruk bagi buruh dan sejarah ini mengingatkan kita sampai hari ini bahwa masalah buruh belum tuntas. Sekalipun sudah ada UU yang tegas melindungi buruh, tetapi tanpa komitmen ini akan sulit ditegakkan.
Ada kalanya kita belajar dari konsep Agama Kristen dalam sebuah kisah yang sangat fantastik bagaimana Yesus mampu memberikan makan 4.000 orang dengan modal 5 roti 2 ikan. Kisah ini memberikan sebuah pesan, kalau berbagi dilakukan dengan adil dan dengan transparan, dan penuh kasih, maka semuanya akan aman. Yesus dengan sumber daya seadanya (5 roti 2 ikan) mengajarkan kita untuk mampu melakukan sesuatu hal dalam kondisi sesulit apapun pasti bisa asalkan motivasinya tulus, iklas, jujur, transparan, dan dilakukan dengan tujuan untuk sesama.
Bagaimana kalau pengusaha juga melakukan hal yang sama dengan terus membumikan konsep berbagi? Bukankah dalam ajaran semua agama, apa yang kita berikan kepada orang lain Sang Pencipta mampu melipatgandakannya menjadi berkat bagi kita (pengusaha). Jujurkah pengusaha dengan paparan angka-angkanya dengan dalil biaya operasional tidak mencukupi lagi untuk mendanai perusahaan, sehingga buruh adalah pihak yang terlemahkan dalam proses kerja? Tujuan semua pertanyaan ini bukannya menjadikan pihak tertentu sebagai pihak yang salah (terdakwa), tetapi lebih dari upaya mencari solusi bagaimana agar hubungan buruh dan pengusaha harmonis yang tujuannya tercipta kesejahteran bersama melalui peningkatan produktivitas nasional.
Sekali lagi, kemajuan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh sejauh mana bangsa tersebut punya modal dasar pembangunan. Secara sederhana modal dasar pembangunan bangsa secara umum yang kita pahami adalah sumber daya alam (potensi geografis), sumber daya manusia, dan teknologi. Tetapi kalau kita terjemahkan lagi ke hal yang lebih spesifik, bisa dibilang buruh merupakan salah satu komponen modal pembangunan bangsa. Di mana, aktivitas buruh lah yang memproduksi barang hingga sampai ke tangan konsumen dan menjadi siklus ekonomi yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Di sinilah manusia bisa beraktivitas dalam hal jual beli barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di negara kita ini.
Masalahnya, jika buruh tidak bekerja, maka produksi barang dan jasa bisa jadi macet. Lantas, seperti apa buruh kita lihat (kaca mata pemerintah dan pengusaha)? Apakah mereka hanya sebagai objek tenaga kerja, atau mitra kerja yang perlu kita perlakukan secara manusiawi?
Fakta mengatakan, persoalan buruh sampai hari ini belum tuntas karena banyak sekali peraturan, perlakuan kepada buruh yang tidak adil. Lantas mengapa kita sering gagal memanusiakan buruh kalau memang buruh itu kita tempatkan sebagai modal dasar pembangunan bangsa?
Setiap tanggal 1 Mei kita selalu melihat pemandangan lautan manusia tumpah ruah ke jalan-jalan. Itulah kaum buruh yang mungkin dalam status sosial ekonomi selalu kita tempatkan dalam kelas bawah menuntut hak sebagai upaya perbaikan akan nasib mereka. Mereka pergi ke instansi pemerintah yang mereka anggap punya wewenang dalam mengubah nasib mereka. Tuntutan mereka sangatlah sederhana, kenaikan upah agar bisa memenuhi kebutuhan hidup yang minimum. Kadang memang sangat memprihatinkan nasib buruh kita. Tenaga mereka dipergunakan dengan maksimal, tetapi sangat minim akan penghargaan. Mengapa nasib buruh mulai jaman orde lama, orde baru, sampai sekarang ini tidak mengalami perubahan yang signifikan?
Padahal buruh adalah sekelompok warga negara yang diikat oleh UUD 1945 yang jelas mengamanatkan hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak (patut sejahtera). Kondisi riil yang kita lihat dilapangan adalah nasib buruh sangat memprihatinkan. Banyak sudah kajian yang mengupas mengapa nasib buruh ini tidak pernah bagus. Tetapi tak satu pun kajian itu yang bisa mengubah nasib mereka. Di setiap perusahaan atau parbik tempat buruh bekerja selalu ada permasalahan. Topik permasalahan selalu sama. Mulai dari gaji yang minim, perlakuan yang tidak layak (improver treatment), intimidasi, pemaksaan dalam bekerja. Bahkan ancaman PHK yang selalu menakut-nakuti para buruh.
Memang tidak bisa kita pungkiri politik perburuhan kita sangatlah tidak pernah memihak mereka. Pemerintah punya kecenderungan (trend yang terjadi) selalu berpihak kepada pengusaha. Ada indikasi karena pengusaha membayar pajak, memberikan upeti kepada pemerintah, sehingga pemerintah enggan meningalkan pengusaha ini.
Dalam kebijakan politik tenaga kerja kita munculnya outsourching merupakan bukti yang sangat nyata bahwa pemerintah membela pengusaha. Outsourching merupakan sebuah gambaran di mana tenaga kerja kalah melawan pengusaha. Dengan politik outsoruching ini pengusaha bisa menghindari kewajiban mereka kepada buruh karena dianggap sebagai biaya pengeluaran yang sangat tinggi.
Siapa lagi yang akan membela nasib para buruh yang kita anggap sebagai manusia dengan status sosial (stratifikasi) kelas bawah? Mengapa hak mereka seringkali dirampas karena ketidakberdayaan mereka dalam banyak hal? Rentetan pertanyaan ini merupakan sebuah refleksi khusus yang akan menggugah nilai kemanusiaan kita bersaman (Pengusaha dan pemerintah). Ketika masih punya hati nurani, saatnya hati nurani kita bersama kita bukakan untuk melihat buruh ini merupakan saudara kita bersama.
Hampir semua agama memberikan pesan moral, pesan universal untuk menghargai sesama manusia. Apapun statusnya, derajat manusia di depan Tuhan tetap sama. Berangkat dari nilai seperti inilah sudah seharusnya kita berjuang bersama untuk mengubah nasib saudara kita. Terlepas apakah dia bekerja sebagai tukang bakso, pembantu rumah tangga, sampai buruh atau tenaga kerja di pabrik-pabrik. Mari saling mengisi dengan spirit berbagi untuk sesama dan maju bersama.
Terlepas daripada itu budaya kerja di kantor-kantor, atau pabrik maupun industri sudah harus kita ubah. Selama ini yang paling menonjol adalah pendekatan atasan bawahan. Inilah pendekatan yang melahirkan kesenjangan dan bermuara pada kurangnya semangat persaudaraan dan kekeluargaan. Akhirnya tenaga kerja atau buruh hanya kita anggap sebagai mesin yang setiap saat bisa digerakkan. Pola pikir seperti inilah yang salah dan selalu menempatkan buruh pada posisi yang sangat lemah. Tidakkah kita bisa mengubahnya dengan pendekatan baru yang lebih manusiawi?
Kita lupa bahwa buruh merupakan manusia yang merupakan saudara kita bersama. Pendekatan atasan bawahan dalam psikologi manajemen tidak akan pernah bisa membuahkan maksimal. Pendekatan yang menempatkan buruh sebagai mitra kerja akan lebih memanusiakan mereka. Dengan sendirinya perlakuan pada mereka akan lebih manusiawi lagi. Maka persoalan pemaksaan dalam bekerja, intimidasi, pemberian hak normatif tidak akan menimbulkan masalah lagi. Bagaimana mengubah pola pikir atau cara pandang kita terhadap buruh merupakan esensi yang harus kita pikirkan bersama.
Kita harus melihat bagaimana peran penting buruh dalam menggerakkan roda perekonomian di negara kita. Proses pembuatan sebuah produk merupakan hasil kerja para tangan –tangan buruh yang tangguh ini. Kita bisa menikmati apa yang ada sama kita merupakan hasil kerja buruh. Mulai dari kebutuhan dasar sampai pada kebutuhan yang mewah. Semuanya merupakan hasil kerja tangan buruh. Memang mereka bekerja digaji untuk itu. Tetapi jawaban seperti ini adalah jawaban yang sangat feodal dan tidak sesuai dengan nilai –nilai Pancasila yang sudah kita sepakati sebagai empat pilar kebangsaan kita.
Belajar dari pengalama negara-negara Eropa yang menempatkan buruh sebagai mitra kerja. Pengusaha di negara Eropa melihat buruh adalah orang yang membuat pengusaha jadi kaya. Maka nilai dan norma yang dipedomani oleh pengusaha Eropa adalah tanpa buruh saya tidak akan bisa kaya. Wajar mereka memperlakukan buruh sebagai mitra kerja mereka dan perlakuan kepada mereka bukan perlakuan seperti yang kita perlakukan bersama. Tidak seperti di negara kita yang mempedomani nilai dan norma yang salah kepada buruh.
Pengusaha kita selalu mengatakan tanpa saya buruh tidak akan bisa bekerja dan makan. Pola pikir seperti ini akan menempatkan buruh sebagai mesin yang setiap saat bisa digerakkan. Bahkan lebih ekstrem lagi, buruh ditempatkan sebagai budak yang bisa bekerja setiap saat. bagaimana mengubah kultur seperti ini merupakan tanggung jawab kita. Padahal kita punya nilai-nilai budaya yang sangat luhur. Mengapa nilai budaya yang sangat luhur itu tidak bisa kita transformasikan dalam pekerjaan dengan menempatkan tenaga kerja sebagai mitra kita, bahkan saudara yang harus kita tolong.
Mungkin dengan memberikan apa yang menjadi hak mereka seperti upah yang layak, perlakuakn yang layak, penghargaan lainnya yang layak merupakan upaya kita berbagi dengan buruh yang merupakan saudara kita juga. Kita harus kembali kepada keagungan nilai agama, baik Kristen, Islam, Budha, Hindu, Konghucu yang mengatakan semua manusia sama di depan Tuhan sebagai pencipta-Nya. Dengan demikian tidak ada alasan atau tempat lagi untuk menyakiti buruh sebagai saudara kita. Buruh adalah manusia yang merupakan saudara kita juga. Sekalipun nasib mereka kurang beruntung dengan kita secara ekonomi, bukan berarti mereka kita perlakukan dengan sesukanya.
Pemerintah pun perlu melihat buruh adalah salah satu komponen utama penggerak ekonomi bangsa ini dan lebih substantif lagi bahwa buruh adalah modal dasar pembangunan bangsa untuk memajukan bangsa kita ini. Dengan demikian buruh bukan hanya dilihat dari perspektig bawahan semata, lebih dari itu merupakan mitra kerja yang harus kita manusiakan dengan perlakuakn yang adil dan patut. Maka sudah saatnya UU Tenaga Kerja berpihak kepada mereka dimana apa yang jadi haknya bisa terlindungi dengan baik pada tataran regulasi. Jangan lagi ada namanya UU Tenaga Kerja tetapi berpihak kepada pengusaha. Mari mendukung konsep buruh sejahtera dengan menempatkan siapapun yang kita pekerjakan merupakan mitra kerja kita dan juga saudara kita juga.
Mari belajar dari cara Yesus memberi. Mungkin dari 4.000- an orang yang menerima berkat dari Yesus sebagian besar adalah buruh. Memberikan dengan iklas, tulus, motivasi benar adalah modal sosial (social capital) yang harus dipelihara oleh pengusaha. Saya yakin dengan mengedepankan teologia berkah dengan mengedepankan spirit berbgai maka nasib buruh akan baik dan dampaknya adalah produktivitas nasional bisa meningkat. Saatnya paradigma berpikir bahwa buruh dan pengusaha adalah mitra kerja yang sejajar (equal work partners) dibumikan agar buruh bisa lebih produktif untuk membangun perekonomian nasional yang tangguh. Selamat hari buruh!
===
Penulis Mahasiswa S3 Manajemen Pendidikan Unimed Medan/Dosen Prodi Adm Publik FISIP UHN Medan.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPG) dan data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 5.000-6.000 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]