Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Sopir mobil box itu tak bisa berkutik. Pria paruh baya dengan masker di wajah itu mau tak mau harus melakukan beberapa kali push up sesuai perintah petugas yang menyetop mobilnya. Ia dinilai melanggar aturan PSBB. Meski sudah berkali-kali memberi argumen dan minta maaf, tapi petugas bergeming dan tetap dengan sanksinya. Kejadian seperti itu menjadi salah satu tayangan berita siang di salah satu televisi swasta nasional, pekan lalu.
Di tayangan televisi lainnya, beberapa pedagang kaki lima Tanah Abang, Jakarta, harus buru-buru menyusun dagangannya. Mereka berlomba agar lebih cepat dengan langkah petugas yang mengarah ke tempatnya. Dari cara menyusun, kemungkinan setelah petugas pergi, dagangan akan dibuka kembali.
Di Medan, pedagang kaki lima di pasar-pasar tradisional tetap dengan aktivitasnya sehari-hari. Angkutan kota tetap berseliweran sesuai trayek,meski sang sopir kadang ada yang tak pakai masker. Tukang botot masih dengan goni dan plastiknya, berjalan ke berbagai tempat mengumpulkan benda-benda yang masih punya harga. Abang becak tetap mangkal di persimpangan menunggu sewa.
Fenomena sosial dan fakta yang tergambar di atas adalah realitas yang masih terus dilakukan masyarakat yang yang tergolong ke dalam masyarakat kelas bawah (lower class) di tengah masa pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Penyebaran virus corona boleh jadi memang membuat takut semua lapisan masyarakat.
Tapi, bagi sebagian masyarakat kelas bawah, ketakutan terhadap penyebaran virus corona sepertinya masih dikalahkan ketakutan-ketakutan yang lain, seperti tak makan di malam dan pagi hari, ketakutan tak mampu membayar berbagai kebutuhan mendesak. Hingga ketakutan akan kelangsungan hidupnya dan keluarganya.
Belum ada solusi. Stimulus tak muncul dengan jelas. Program pengganti biaya kebutuhan sehari-hari tak pasti. Sementara hidup harus tetap survive. Alhasil, aktivitas sehari-hari pun tetap jadi pilihan di tengah masa penyebaran corona yang belum tahu kapan berakhirnya.
Dari berbagai literatur, kelas bawah atau lower class bisa diartikan sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendapatan atau penghasilan yang jumlahnya lebih sedikit dibanding kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kelompok masyarakat ini memiliki angka penghasilan di bawah rata-rata. Mereka biasanya hidup di bawah garis kemiskinan.
Masyarakat kelas bawah bisa dijumpai di berbagai tempat. Mereka ada di dekat pusat pemeritahan, di perkotaan, di perdesaan, di sekitar perumahan elit, hingga di lokasi yang jauh dari pusat pembangunan.
Menjadi lapisan kelas bawah pasti bukan pilihan dan keinginan. Ada yang karena keterbatasan dan ketidakmampuan. Ada karena situasi dan kondisi. Ada juga karena kesempatan dan peluang yang tidak berpihak.
Pitirim A Sorokin, seorang sosiolog asal Rusia yang hidup di tahun 1889-1968 menyebut, tingkatan lapisan di tengah masyarakat tak bisa dielakkan. Ia mempopulerkannya dengan istilah stratifikasi sosial, yakni pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat. Menurutnya, ada lapisan-lapisan di dalam masyarakat, yakni kelas atas (upper class), kelas menengah (middle class), dan kelas bawah (lower class).
Jauh sebelumnya, Aristoteles sudah membagi masyarakat menjadi tiga kelas, yaitu golongan sangat kaya, golongan kaya, dan golongan miskin. Teori tentang kelas masyarakat ini diperkuat juga oleh Karl Marx, yang membagi masyarakat menjadi dua kelompok besar, yakni masyarakat borjuis (kelompok masyarakat kapitalis atau orang kaya) dan masyarakat proletar (kelompok masyarakat bawah atau orang-orang miskin).
Di Indonesia, jumlah masyarakat kelas bawah relatif tinggi. Jika kelas bawah dianggap orang miskin, maka sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) angka kemiskinan di Indonesia pada September 2019 sebesar 9,22% atau sebanyak 24,97 juta orang. Yang disebut masyarakat di bawah garis kemiskinan yang berpendapatan Rp 440.538/kapita/bulan ( September 2019). Tapi, jika merujuk data Bank Dunia, komposisi dan proporsi kelas bawah di Indonesia lebih dari 9,22%.
Di masa corona ini, posisi masyarakat kelas bawah memang dilematis. Seperti makan buah simalakama. Bekerja ke luar rumah, salah. Di rumah saja tak bekerja, juga tak benar.
Kalau tak keluar rumah, sudah tentu jauh dari rejeki. Kalau tak bawa mobil atau angkutan kota, pasti tak dapat gaji harian. Kalau tak narik becak, pasti tak dapat uang. Kalau tak jualan ke pasar, uang tidak akan datang.
Ya, disuruh di rumah tapi tak dibekali sama saja dengan membuat mereka merana. Hampir mirip dengan kalimat bernada satir yang muncul di media-media sosial itu; dirumahkan 14 hari akan memutus penyebaran corona, tapi baru 4 hari di rumah awak yang putus.
Di tengah pandemi corona ini, kondisi masyarakat kelas bawah benar-benar terjepit. Bekerja di luar, dilarang. Diuber, dikejar-kejar. Disuruh di rumah saja, sementara stok atau tabungan tak ada. Mereka hidup dari upah harian dan penghasilan lainnya yang diperoleh sehari-hari. Jika tak bekerja sehari saja, sudah pasti akan mengganggu kehidupan hari-hari berikutnya.
Selain terjepit covid, masyarakat kelas bawah tak jarang juga memperoleh candaan negatif, hujatan, ejekan, hingga kalimat dengan diksi-diksi yang kasar. Ada yang menyebut mereka tak bisa dibilangi, degil, bandel, tak taat aturan, jogal, tak mau kerja sama.
Stigma-stigma (pandangan negatif) seperti itu tentu saja menyakitkan. Padahal apa yang mereka lakukan tidak bermaksud untuk menentang berbagai kebijakan. Tidak juga wujud sebuah perlawanan. Apa yang masih mereka lakoni dengan bekerja di luar adalah salah satu cara untuk tetap bisa survive, bertahan hidup di tengah ketidakpastian kapan berakhirnya virus corona ini.
Memutus penyebaran virus corona memang wajib dilakukan. Tapi, jika kelangsungan kehidupan terancam terputus, tentu harus ada alternatif solusi yang akseleratif, aplikatif, implementatif, massif, dan segera! Ya, sekarang juga.
===
Penulis Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPG) dan data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 5.000-6.000 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]