Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Munculnya pandemi Covid-19 atau disebut juga SARS-CoV-2 sejak akhir 2019 lalu, efeknya bukan cuma ke ranah kesehatan, tapi hampir ke semua ranah lain, ekonomi, sosial, pendidikan, sampai ke urusan ibadah. Kita sudah sama-sama dengar bahwa di beberapa wilayah untuk sementara ini penyelenggaraan salat berjamaah di masjid terpaksa ditiadakan.
Walau tingkat mematikan yang disebabkan Covid-19 tidaklah separah wabah Justinian pada abad ke-6 yang pusat penyebarannya berada di Konstantinopel (sekarang Istanbul) meluas ke seantero Laut Tengah (Mediterania/Akdeniz), Afrika Utara, Arab, Eropa, dan sebagian Asia, yang menurut sejarah mengakibatkan 30-50 juta jiwa meninggal dunia kala itu. Atau wabah Black Death di abad ke-14 yang pusat penyebarannya ada di Eropa, di mana masyarakat pada saat itu mengisolasi diri selama 40 hari untuk menghindari wabah yang disebut dengan quarantino, dari sini asal mula istilah quarantine atau karantina. Menurut beberapa sumber sejarah, sekitar 200 juta jiwa meninggal akibat wabah Black Death, dikatakan juga sebagai salah satu faktor runtuhnya Kekaisaran Romawi.
Walau tingkat mematikannya tidak separah dua wabah di atas, tapi seperti pandemik di abad 20 atau awal abad 21 lainnya (misal HIV/AIDS, flu, kolera), Covid-19 mampu menyebar sangat luas dalam waktu cepat. Selain memang karena mudah menular, faktor terbesar adalah tingkat mobilitas manusia saat ini lebih tinggi. Perpindahan orang dari negara satu ke negara lain lebih cepat dan banyak. Oleh karena itu, masih dalam hitungan bulan sejak kasus pertama ditemukan di Wuhan, Cina akhir 2019, saat ini sudah menyebar di lebih 200 negara. Sebab itu di semua negara yang terdampak, kondisi yang dirasakan punya banyak kesamaan, hanya levelnya yang berbeda. Termasuk dampaknya di ranah pendidikan, untuk sementara waktu mengganti kegiatan belajar tatap muka dengan kegiatan belajar mengajar jarak jauh.
Misalnya di Turki, begitu kasus pertama Covid-19 diumumkan tanggal 12 Maret 2020, mulai tanggal 16 Maret pemerintah meliburkan seluruh sekolah dan perguruan tinggi selama 3 minggu. Melihat dampak yang semakin tinggi, maka akhir Maret diumumkan bahwa seluruh aktivitas belajar mengajar untuk semester ini dilanjutkan dengan pendidikan jarak jauh. Persis dengan di Indonesia, kegiatan belajar mengajar dilakukan secara daring walaupun antardaerah aturannya ada yang berbeda, karena aturannya tidak terpusat langsung.
Bukan hanya kegiatan belajar-mengajar yang terpengaruh, kegiatan di lingkup pendidikan lainnya seperti conference juga pada beralih ke metode virtual. Plus minusnya pasti ada. Apalagi baru kali ini serentak hampir di seluruh dunia dan seluruh Indonesia diadakan pendidikan jarak jauh. Trial errornya pasti ada. Untuk soal kemampuan adaptasi, bagi yang sudah melek teknologi, ini hanya perkara menggeser porsi media belajar saja. Dengan syarat, baik pengajar maupun peserta didik punya kemampuan sharing dan menerima yang sepadan. Misalnya, kalau biasanya proses belajar tatap muka porsinya 75%, proses belajar yang mengandalkan media daring 25% (baik itu membaca jurnal ilmiah, menulis, belajar dari platform digital, dan lain-lain).
Tapi kondisi sekarang memaksa untuk 100% meniadakan tatap muka langsung. Kalau pengajar dan peserta didik sama-sama melek teknologi daring, sama-sama punya fasilitas pendukung yang baik, kaya sumber literasi, maka tidak ada kendala. Yang menjadi masalah yaitu belum di semua daerah, sekolah, kampus, pengajar, dan peserta didik punya akses internet dan fasilitas pendukung yang memadai. Kasus seperti Ini banyak dijumpai. Selain itu, dengan metode yang dibilang ‘percobaan’, masih banyak yang belum bisa memanfaatkan secara optimal, sehingga efektivitas penyerapan kompetensinya lebih rendah dibanding dengan proses belajar tatap muka langsung yang biasa dilakukan.
Kegiatan lainnya misal yang berhubungan dengan administrasi. Kalau sistem administrasi secara online masih belum matang juga jadi kendala. Kemudian kegiatan penelitian yang presisi waktu berpotensi ada hambatan. Banyak mahasiswa tingkat akhir yang seharusnya sudah bisa wisuda, mesti rela wisudanya tertunda. Yang baru lulus SMA ingin masuk ke perguruan tinggi, sedikit banyak ada kendala-kendala. Ada juga potensi peserta didik mengalami penurunan nilai, seperti hasil penelitian di Swedia tahun 2015 bahwa pengurangan waktu belajar di sekolah selama 10 hari membuat nilai siswa turun 1%.
Seluruh dunia sekarang menghadapi fase ini, bukan cuma di Indonesia. Kecuali ada kesepakatan bersama untuk melonggarkan standar. Tapi realitanya tidak seperti itu. Semua mengupayakan untuk optimalisasi sumber daya yang ada supaya standar pendidikan tidak menurun walaupun sedang ada pandemi. Sebagian memang bisa beradaptasi, tapi sebagian yang lain masih banyak yang belum siap. Baik itu institusi pendidikannya, pengajarnya, maupun peserta didiknya.
Bagi yang pandai mengoptimalkan potensi, situasi sekarang bukanlah masalah. Misal, untuk yang sudah terbiasa menulis, mengakses jurnal ilmiah, mengambil referensi pembelajaran dari platform-platform digital, atau terbiasa mengikuti seminar-seminar dan pelatihan-pelatihan melalui aplikasi berbasis daring, seperti Webinar, Zoom, atau via WhatsApp. Kabar baiknya adalah, yang belum terbiasa mau tidak mau terpaksa untuk mengikuti. Ini bisa jadi percepatan terwujudnya revolusi industri 4.0 di bidang pendidikan, percepatan supaya 'melek teknologi' lekas merata ke seluruh penjuru negeri.
Hikmahnya adalah, dalam kondisi sekarang ini, tanpa disadari kita sedang berkesperimen menguji metode baru dalam dunia pendidikan secara serentak. Ibarat riset, yang kita alami sekarang adalah riset dengan jumlah sampel sangat banyak dalam waktu yang bersamaan. Insya Allah hasil riset ini nanti kita nikmati bersama-sama pasca Covid-19 mereda.
===
Penulis Dosen Universitas Asahan/Mahasiswa Doktoral Akdeniz University, Turki
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPG) dan data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 5.000-6.000 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]