Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memprediksi akan ada lonjakan jumlah penduduk yang berpotensi jatuh ke bawah garis kemiskinan akibat pandemi Corona (COVID-19).
Hal itu beralasan, lantaran jumlah penduduk rentan miskin dan hampir miskin atau kelas menengah tanggung di Indonesia sendiri mencapai 66,7 juta jiwa (25% dari total penduduk Indonesia), atau lebih dari dua setengah kali lipat jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan.
Untuk dapat mencegah kelas menengah tanggung itu jatuh ke bawah garis kemiskinan, menurut CORE Indonesia peran pemerintah pusat maupun daerah sangat dibutuhkan. Pemerintah wajib menjaga tingkat kesejahteraan masyarakat demi mempercepat proses penanggulangan pandemi COVID-19.
Baca juga: Waduh! 37 Juta Orang RI Diprediksi Jatuh Miskin Imbas Corona
"Ketidakmampuan penduduk yang miskin dan rentan miskin dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka, khususnya mereka yang tidak tercakup dalam bantuan sosial pemerintah, akan memperlambat proses penanggulangan pandemi. Pasalnya, sebagian besar mereka terpaksa tetap keluar rumah untuk bekerja memenuhi kebutuhan dasar mereka meskipun dilakukan kebijakan PSBB," ujar Ekonom CORE Indonesia Muhammad Ishak Razak dalam keterangannya, Selasa (5/5/2020).
Selain itu, meningkatnya jumlah penduduk miskin dan rentan miskin yang tidak terjangkau bantuan sosial pemerintah berpotensi memicu naiknya angka kriminalitas, yang belakangan ini sudah semakin marak.
"Selain meningkatkan kapasitas tenaga medis dan fasilitas kesehatan untuk menanggulangi pandemi COVID-19, CORE Indonesia juga menekankan pentingnya meletakkan prioritas kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah saat ini pada menjaga tingkat kesejahteraan masyarakat terutama yang berada di sekitar garis kemiskinan," tambahnya.
Berikut 5 langkah yang dapat diambil pemerintah:
Pertama, mengantisipasi lonjakan angka kemiskinan akibat pandemi yang diperkirakan akan lebih besar dibandingkan dengan jumlah bantuan sosial. Di samping terus memperbaharui data penduduk miskin dan rentan miskin yang layak mendapatkan bantuan sosial, pemerintah perlu meningkatkan anggaran Bantuan Sosial dan memperluas jumlah penerima bantuan kepada penduduk yang jatuh miskin akibat COVID-19.
Kedua, mengintegrasikan penyaluran Bantuan Sosial sehingga menjadi lebih sederhana, melakukan penyeragaman nilai bantuan, di samping terus melakukan pemutakhiran data penerima Bantuan Sosial. Di banyak tempat, berbagai bentuk Bantuan Sosial yang berbeda-beda jenis dan jumlahnya telah menimbulkan ketegangan sosial di sejumlah daerah.
Hal ini diperparah dengan basis data Bantuan Sosial, khususnya Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), yang digunakan oleh pemerintah daerah yang belum mencakup masyarakat yang sebelumnya tidak terdata namun kondisi ekonominya memburuk selama pandemi. Salah satu alternatif yang dapat ditempuh pemerintah adalah menggandeng bank-bank pemerintah untuk melakukan transfer Bantuan Sosial secara langsung melalui rekening khusus untuk setiap penerima bantuan.
Ketiga, mengurangi beban pengeluaran masyarakat khususnya masyarakat miskin dan hampir miskin, terutama dengan menurunkan biaya biaya yang dikontrol pemerintah (administered prices). Di antaranya:
a. Menurunkan harga BBM yang menjadi salah satu komponen terbesar pengeluaran penduduk miskin (5% untuk penduduk miskin di kota dan 4% untuk penduduk miskin di desa). Meskipun penurunan mobilitas orang saat ini berdampak pada berkurangnya penggunaan BBM, BBM tetap berperan besar dalam mobilitas barang (logistik) yang tetap sangat krusial perannya selama masa wabah.
Apalagi, harga minyak mentah terus mengalami penurunan hingga di bawah US$ 25 per barel. Semestinya harga dasar BBM di bawah RON 95 dapat turun setidaknya pada kisaran Rp 4.500- Rp5.000 per liter.
Harga tersebut berpotensi lebih rendah jika Kementerian ESDM menurunkan biaya konstanta (alpha pengadaan, penyimpanan, dan distribusi) dan margin perusahaan penyalur BBM.
Pada bulan Februari 2020, untuk mengakomodasi kepentingan perusahaan penyalur BBM, sebagaimana yang tertuang dalam Kepmen ESDM No.62.K/12/MEM/2020, pemerintah telah menaikkan biaya konstanta dari Rp 1.000 menjadi Rp 1.800 (RON di bawah 95 dan Minyak Solar CN 48) dan dari Rp 1.200 menjadi Rp 2.000 (RON 95, RON 98, Minyak Solar CN 51).
Semestinya dalam situasi seperti ini, pemerintah dapat merevisi kembali formula penetapan harga BBM tersebut sehingga dapat membantu meringankan beban ekonomi masyarakat.
b. Menambah jumlah rumah tangga penerima diskon pemotongan tarif listrik sehingga mencakup minimal seluruh pelanggan 900VA. Saat ini, selain golongan R1/450VA (24 juta pelanggan) yang mendapatkan listrik gratis selama tiga bulan, golongan rumah tangga R1/900VA yang mendapat pemotongan 50% hanya sebanyak 7,2 juta pelanggan dari total 22,1 juta. Sebagian mereka saat ini diperkirakan telah jatuh ke dalam kategori penduduk miskin dan rentan miskin.
c. Menurunkan harga LPG tiga kilogram yang kebanyakan dikonsumsi oleh masyarakat menengah bawah. Ini juga sejalan dengan harga propane dan butane yang menjadi bahan baku utama LPG yang turun tajam. Harga propane Aramco, yang menjadi acuan perhitungan harga subsidi LPG, turun dari $430 per ton pada bulan Maret menjadi $230 per ton pada April 2020. Sementara itu, harga butane turun dari $480 per ton menjadi $240 per ton pada periode yang sama.
Oleh sebab itu, seiring dengan potensi penurunan realisasi anggaran subsidi LPG tiga kilogram (Rp 50,6 triliun) tahun ini, pemerintah memiliki cukup ruang untuk menurunkan harga bahan bakar itu di kisaran Rp 1.000-Rp 2.000/kg. Penurunan tersebut akan memberikan efek yang cukup besar untuk mengurangi biaya hidup masyarakat, khususnya yang terdampak COVID-19.
d. Memberikan diskon atau menggratiskan tarif air untuk rumah tangga khususnya di daerah-daerah yang menerapkan PSBB. Banyak negara-negara berkembang telah mengadopsi kebijakan ini, seperti Malaysia dan Thailand. Oleh karena pengelolaan air bersih berada dalam kendali Pemerintah Daerah, maka sudah saatnya mereka ikut serta menanggung sebagian beban masyarakat dengan memberikan diskon atau menggratiskan tarif air bersih di daerah mereka.
Keempat, meningkatkan insentif bagi petani, peternak, dan nelayan melalui skema pembelian produk oleh pemerintah dan perbaikan jalur logistik hasil pertanian, peternakan dan perikanan.Di tengah persebaran pandemi COVID-19, para petani, peternak, dan nelayan yang terus berproduksi kini menghadapi minimnya serapan pasar. Jika insentif di sektor ini tidak segera dan secara khusus diberikan, maka mereka berpotensi menambah jumlah penduduk kemiskinan.
Kelima, meningkatnya intervensi pemerintah untuk mengatasi pandemi ini akan berdampak pada peningkatan anggaran belanja pemerintah. Meskipun terdapat ruang untuk memperlebar defisit, pemerintah dapat mengoptimalkan realokasi anggaran yang telah disusun dan menerapkan beberapa kebijakan alternatif, di antaranya:
a. Melakukan realokasi sebagian anggaran belanja modal dan belanja barang APBN, dan melakukan pembagian beban (burden sharing) antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan mengalihkan sebagian anggaran Transfer Ke Daerah dan Dana Desa, untuk dialokasikan menjadi anggaran Bantuan Sosial. Selain itu, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa negara berkembang lainnya, pemerintah juga perlu melakukan renegosiasi pembayaran utang luar negeri kepada kreditur asing baik lembaga ataupun negara;
b. Melakukan realokasi anggaran penanganan COVID-19 senilai Rp 150 triliun (dari total pembiayaan Rp 405 triliun) yang semula diperuntukkan untuk mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional yang belum dijelaskan rinciannya, untuk kegiatan anggaran social safety-net dan peningkatan anggaran penanggulangan COVID-19.
c. Melakukan realokasi anggaran program Kartu Prakerja yang digunakan untuk membayar program pelatihan senilai Rp 5,63 triliun, yang tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat saat ini, khususnya angkatan kerja yang menganggur akibat PHK. Lagi pula, kebanyakan materi yang ditawarkan dapat diperoleh secara gratis di internet. Dengan demikian, dana tersebut dapat dialokasikan untuk memberikan bantuan sosial yang lebih dibutuhkan penduduk miskin dah hampir miskin, khususnya dalam bentuk penyediaan kebutuhan pokok.(dtf)