Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Ketika saya mengikuti pendidikan S-2 di Universitas Negeri Malang (1990-an), seorang guru besar bidang humaniora (alm Prof Dr Hazim Amir MA) pernah melontarkan sebuah pernyataan bahwa salah satu kelebihan orang Indonesia adalah tumbuhnya soliditas dan solidaritas sosial pada saat mengalami masalah/tekanan bersama. Pernyataan ini telah terbukti di sepanjang sejarah republik. Bangsa ini merdeka dari belenggu penjajah, di antaranya karena adanya perasaan bersama.
Dalam berbagai peristiwa alam termasuk sosial, jiwa kebersamaan itu tetap terpelihara. Masih hangat dalam ingatan kita sejumlah bencana alam yang melanda berbagai wilayah di Indonesia. Gempa bumi dan tsunami di Aceh, Pulau Nias, Padang, Yogyakarta, Papua, Palu, dan sejumlah daerah lain, solidaritas sosial begitu masif dari hampir semua lapisan masyarakat Indonesia. Bahu-membahu membantu mereka yang sedang mengalami penderitaan. Bantuan dalam berbagai bentuk pun mengalir ke wilayah yang terkena bencana.
Sejak Covid-19 merambah bangsa kita, perasaan bersama itu pun tumbuh lagi. Mulai dari perorangan, perusahaan (kecil dan besar), organisasi (kecil dan besar), lembaga sosial/keagamaan, dan berbagai elemen masyarakat melakukan aksi sosial dengan berbagi kepada mereka yang berkekurangan sebagai dampak virus corona. Pandemi penderitaan telah menggugah soliditas dan solidaritas masyarakat Indonesia. Bravo untuk masyarakat Indonesia.
Selain perasaan bersama yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia, hal yang sering terlihat di antaranya “gampang lupa/melupakan”. Begitu mudahnya soliditas dan solidaritas sosial luntur ketika penderitaan massal berakhir. Berbagi bagi saudara-saudara yang masih berada dalam kekurangan sering terlupakan atau mungkin melupakan. Semboyan BPJS yang selalu disuarakan oleh Ade Rai “Dengan Gotong royong Semua Tertolong” demikian cepat terpendam dalam memori masyarakat. Kepemilikan sikap berbagi muncul lagi pada hari-hari besar keagamaan. Itu pun sifatnya sektoral.
Jika Kemdikbud pada perayaan Hardiknas Tahun 2020 yang lalu mengajak seluruh elemen masyarakat untuk belajar dari Covid-19. hingga artikel ini ditulis, Kementerian Kominfo RI masih belum menerbitkan petunjuk pelaksanaan peringatan 112 tahun Hari Kebangkitan Nasional Tahun 2020. Semoga tidak lupa/melupakan hari yang begitu bersejarah bagi bangsa Indonesia sebagai modal utama dan terutama dalam membebaskan bangsa dari kaum kolonial.
Sembari menunggu gebrakan Menkominfo untuk membangkitkan memori masyarakat Indonesia terkait makna kebangkitan nasional itu sebenarnya adalah titik awal bangkitnya rasa persatuan dan kesatuan setelah tempaan 350 tahun masa penjajahan. Terlebih dalam merespon upaya bersama melawan covid-19 yang dalam beberapa hari yang lalu, Presiden Jokowi mengajak masyarakat Indonesia untuk berdamai dengan Covid-19 sampai ditemukannya vaksin yang efektif. Beberapa saat kemudian para ahli berpendapat bahwa berdamai dengan Covid-19 adalah sebuah peradaban baru. Tidak sekadar new normal. Aktivitas dan pola interaksi antarmanusia berubah. Debat pun menjadi komsumsi publik.
Perlu Perawatan
Soliditas dan solidaritas semua elemen masyarakat selama pandemi Covid-19 ini perlu dipupuk terus. Artinya, sifat mau berbagi kepada mereka yang kurang beruntung secara ekonomi yang telah terpatri dalam diri setiap masyarakat selama wabah sosial ini berlanjut dalam kehidupan sehari-hari. Tidak lagi musiman seperti saat ini. Oleh karena itu, setiap lembaga atau pranata sosial/budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat perlu menata dan/atau menciptakan peradaban baru. Tentu saja pemerintah sebagai leading sector-nya.
Beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama, diperlukan pendataan yang akurat terkait kelompok masyarakat yang tergolong kategori tidak mampu. Pendataan yang dilakukan pemerintah (baca: BPS) masih amburadul. Hal ini terbukti pada pembagian sejumlah bantuan dari pemerintah dari waktu ke waktu selalu bermasalah. Tidak tepat sasaran. Orang yang tergolong miskin tersisihkan. Tidak sedikit mereka yang mampu secara ekonomi justru mendapat bantuan sosial dari pemerintah. Salah satu strategi yang dapat ditempuh untuk mendapatkan data yang relatif akurat terkait kelompok masyarakat adalah dengan melibatkan lembaga agama yang ada di negara ini. Biasanya, setiap lembaga agama memiliki data terkait orang-orang yang kurang mampu. Data dari lembaga agama ini disandingkan dengan data yang dikumpulkan oleh pemerintah (RT/RW/Lingkungan).
Kedua, setelah data ini dapat diyakini akurasinya, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi penyebab ketidakmampuan mereka serta kemungkinan akan tetap berada pada kondisi tersebut atau dapat dientaskan dari kemiskinan mereka. Hal ini yang sering diabaikan oleh pemerintah. Ketika kelompok masyarakat tertentu telah tercatat sebagai keluarga tidak mampu maka beberapa tahun ke depan tetap saja diklaim tidak mampu. Inilah pentingnya identifikasi ketidakmampuan dan kemungkinan solusi untuk mengentaskan mereka dari berbagai keterbelakangan (baca: pemberdayaan).
Ketiga, kelompok masyarakat yang telah teridentifikasi penyebab dan kemungkinan dapat diberdayakan inilah yang menjadi garapan bersama baik perorangan, kelompok sosial, perusahaan, lembaga agama, dan pemerintah. Soliditas dan solidaritas yang telah terpatri dalam kehidupan setiap elemen bangsa ketika menghadapi bencana termasuk pandemi covid-19 ini perlu digaungkan terus-menerus. Kaum yang telah diberkahi rezeki berkelimpahan oleh Sang Pencipta selalu diingatkan oleh pemerintah - terutama kaum agamawan - supaya terus berbagai dengan sesama yang masih berkekurangan. Saya berkeyakinan bahwa apabila teknik ini dapat dilaksanakan dengan baik dan sungguh-sungguh, saudara-saudara kita yang tergolong kurang mampu secara bertahap akan dapat meningkatkan taraf hidup layak. Tentu saja apabila dilakukan dengan konsep pemberdayaan.
Mengakhiri tulisan ini, teman saya guru besar bidang pendidikan ekonomi dari Universitas Negeri Medan, Prof Dr Syaiful Sagala SSos MPd. (kini telah almarhum) dalam sebuah diskusi tidak formal pernah berujar bahwa apabila 10 juta orang Indonesia yang tergolong kaya-raya mempekerjakan 1 orang asisten rumah tangga, 1 orang supir, satu orang tukang kebun, maka 30 juta orang telah terentaskan dari kemiskinan. Orang Indonesia setidaknya terhindar dari penindasan di negara lain sebagai TKI/TKW. Marwah bangsa dan negara tetap terpelihara.
Masih berlanjutkah soliditas dan solidaritas sosial bangsa Indonesia yang telah terbina selama ini pascacovid-19? Waktu jualah yang akan mengisahkan kepada generasi kita.
Selamat memperingati 112 tahun Hari Kebangkitan Nasional. Semoga pandemi covid-19 cepat berlalu. Kita pun kembali berkativitas seperti biasa dengan tatanan baru.
===
Penulis adalah Associate Professor pada LLDikti Wilayah I dpk pada Universitas Prima Indonesia.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]