Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Sebagai umat Kristiani atau non-Muslim sepatutnyalah saya mengucapkan selamat hari raya Idulfitri1441 sebagai sebuah momentum yang sangat spesial (special momentum) bagi saudara kami yang memeluk Islam sebagai sebuah panggilan agung (great call) keberagaman. Setelah sebulan penuh melakukan Ibadah puasa sebagai kewajiban bagi umat Islam punya nilai yang sangat sakral dan sarat dengan nilai kemanusiaan (humanisme) serta kebangsaan.
Dalam ibadah puasa sebagaimana juga kami yakini saudara kami yang beragama Islam telah menjalankan tugas mulia, yakni mengekang segala bentuk hawa nafsu (curb lust), menjauhi keserakahan, mengedepankan cinta kasih, dan memutus benih benih materialisme dan pada akhirnya akan terbentuk sebuah jiwa yang kuat, berkarakter, dan kembali kepada nilai-nilai yang diajarkan oleh sang Khalik (Tuhan Yang Maha Esa). Puasa adalah sebuah ritual yang bukan hanya rutinitas, lebih dari itu satu-satunya jalan membentuk (membangun) diri yang taat pada perintah sang Khalik dengan membangun karakter yang baru sebagai jalan memperkuat rasa kemanusiaan dan kebangsaan.
Saat ini bangsa kita diperhadapkan sebuah problem pandemi Covid-19 sebagai sebuah bencana akut di luar dugaan, yang pada saat bersamaan semua negara mengalaminya juga. Karena memutus mata rantai Covid-19 ini sebuah tradisi bangsa yang sangat luhur dan sarat dengan kecerdasan budaya, mudik pun dianjurkan tidak dilakukan. Tetapi pemerintah sudah berhitung mengenai segala untung dan rugi. Anjuran ini hanya bertujuan tunggal, memutus mata rantai Covid-19 yang sangat ganas tersebut.
Saat ini pemerintah sudah mengeluarkan energi besar (expend huge energy) mengatasinya. Berbagai kebijakan dilakukan seperti “stay at home”, anjuran memakai masker, pembatasan sosial bersakala besar (PSBB) yang semuanya telah membuat publik waspada karena dampak Covid-19 sangat membahayakan, belum lagi vaksin untuk Covid-19 masih dalam proses pencarian oleh dunia internasional.
Lantas, pasca keberpuasaan saudara kita yang beragama Islam harapan kita semua sama, ibadah puasa ini mampu bertransformasi dalam upaya membentuk manusia yang punya jiwa-jiwa yang haus akan panggilan ajaran sang Khalik sehingga terjadi penguatan rasa kemanusiaan dan rasa kebangsaan (strengthening nationality and humanity). Mudik kemanusiaan dan mudik kebangsaan sangat penting dilakukan saat ini karena kedua ini adalah sebuah tuntutan yang “sangat penting” di era industri revolusi 4.0 ini.
Sebagaimana yang kita pahami nilai-nilai ketuhanan selalu berorientasi dan bermuara pada bagaimana menciptakan sebuah tatanan yang baik, beradab, kebaikan, cinta kasih, dan persaudaraan penuh dalam komunitas bersama. Nilai-nilai sang Khalik ini masih diyakini oleh semua agama samawi sebagai nilai yang kebenarannya sangat mutlak. Memelihara keutuhan semesta, mencintai sesama, hidup penuh dengan kasih, bekerja keras, jujur, adalah nilai yang bersumber dari mutlak dari Tuhan dan merupakan panggilan semua agama. Karena kemutlakan nilai dari sang Khalik inilah maka semua agama samawai meyakininya sebagai salah satu jalan kebenaran yang membentuk pribadi yang “beriman dan berkarakter” menuju mudik kemanusiaan dan mudik kebangsaan.
Di tengah keagungan nilai-nilai agama samawi, termasuk Islam yang menekankan damai di bumi dan akhirat dalam konsep rahmatan lil alamin ternyata masyarakat Indonesia saat ini hidup dalam sebuah realiats sosial yang sangat menyedihkan. Lantas, dimana peran nilai-nilai keberagamaan kita yang sarat dengan nilai kemanusiaan ini? Sebelum bicara lebih dalam, perlu kita pahami bersama, agama tidak pernah salah, yang salah adalah personalnya manusia.
Ketika manusia melanggar hukum-hukum sang Khalik pada sat yang bersamaan identitas keagamaan kita masih sangat kuat telah ikut mendorong agama jatuh dan seolah –olah agama mengalami disfungsi. Padahal tidak. agama itu sangat agung karena memuat nilai-nilai humanisme yang sangat tinggi. Dalam konsep agama hubungan manusia diatur dalam bentuk saling mendukung, saling menghargai, saling memberi, saling mengasihi. Ini adalah pesan-pesan nilai agama bagi kita semua. Jadi, pada hakikatnya antara agama dan orang yang membawa identitas agama perlu kita pisahkan.
Ketika masyarakat kita atau pejabat kita terjebak pada persoalan korupsi dan dia punya agama secara identitas administratif hal ini melahirkan nilai negatif pada agama. Bahkan sampai ada asumsi mengapa kita beragama kalau memang korupsi? Sejatinya ada kalanya pertanyaan ini benar pada satu sisi. Ketidaksignifikanan antara keagamaan kita dengan perilaku hidup jujur, tulus, kerja keras, telah membuat agama seolah-olah tidak berfungsi dalam hidup kita. Bahkan yang lebih ekstrim ada yang mengatakan negara atheis lebih beradab dari negara kita.
Hal ini memang tidak bisa kita pungkiri. Saat ini masyarakat Korea Selatan hampir 35 persen dari total populasinya merupakan masyarakat atheis yang tidak percaya pada Tuhan. Mereka lebih beradab sebagai sebuah bangsa dengan tingkat korupsi, kemiskinan yang sangat rendah. Ini menjadi sebuah tamparan bagi bangsa ini dalam menjalankan agama secara substantif.
Hanya, pernahkah kita berpikir jika kita kembali pada ajaran agama kita yang sangat agung itu, kita bisa melebihi negara Korea Selatan sekalipun. Kita tidak menerapkan apa yang menjadi pesan agama kita yang sangat kaya dengan nilai humanisme. Kita gagal dalam implemenatsi yang substantif.
Saya sangat menjamin implementasi substansi agama kita mampu mengangkat bangsa ini dari keterpurukan (rise from adversity) yang sangat parah saat ini. Akar dari jatuhnya bangsa kita dalam jurang krisis adalah karena kita lari dari nilai agama kita yang sangat agung tersebut. Dalam hal ini, agama jangan dipersalahkan, cara dan metode kita dalam beragama yang mungkin harus kita ubah. Agama harus mampu mendorong kita punya karakter yang kuat (strong character), perilaku yang penuh kasih, dan manusia yang menghargai sesama. Inilah inti sari dari ajaran agama.
Kembali ke Ajaran Agama
Untuk itulah puasa transformatif sangat kita harapkan sebagai upaya melahirkan kembali manusia yang kembali kepada nilai-nilai sang khalik. Nilai-nilai sang Khalik adalah nilai kejujuran, kerja keras, tidak mau mencuri, penuh kasih sayang (full of love), berbagi rasa dan duka. Semua ini membentuk manusia sebagai pribadi yang jujur, cerdas, berbudi pekerti. Jika ini sudah terbentuk korupsi bukan lagi persoalan yang menggerogoti bangsa kita.
Dampak puasa yang kita harapkan adalah membentuk manusia yang jujur, kerja keras, bertanggung jawab, bermental baja, berhati tulus melalui pengekangan diri pada segala bentuk godaan dan hawa nafsu sehingga mudik kemanusiaan dan mudik kebangsaan akan bisa terwujud dengan baik. Puasa selama satu bulan telah selesai dan puncaknya adalah perayaan Idulfitri 1441 H.
Di hari yang fitrah ini sangat kita harapkan sebagai pendorong lahirnya pemimpin yang mengerti rakyat, tidak korup, berpikir jangka panjang, peduli lingkungan, hidup sederhana sehingga tujuan kita berbangsa dan bernegara bisa terwujud sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Dengan belajar menahan hawa nafsu, mengekang godaan para pejabat bisa menerapkannya dalam dunia pemerintahan. Bahkan masyarakat yang mampu menahan segala godaan dan hawa nafsu akan sukses dalam kehidupan ekonomi atau bidang kehidupan lainnya.
Penutup
Perayaan Idul Fitri 1441 H ini sekalipun ada anjuran dari pemerintah untuk tidak mudik dengan tujuan memutus mata rantai Covid-19 tentu adalah anjuran yang sangat bagus. Waktu akan terus berjalan, kalau Covid-19 telah berlalu, kita dilain kesempatan bisa melakukan mudik dengan baik karena ini adalah tradisi yang sangat kaya dengan nilai –nilai luhur (noble value).
Biarlah pada idul fitri 1441 H ini mudik kebangsaan dan mudik kemanusiaan kita lakukan. Mudik kemanusiaan adalah kembali kepada fitrah kita sebagai manusia yang penuh cinta kasih, hidup jujur, mau berbagi, menghargai semua ciptaan, bekerja keras, punya visi kedepan, inovatif dan juga kreatif. Mudik kebangsaan adalah mengedepankan nasionalisme Ke-Indonesiaan sebagai sebuah proyek agung (great project) “the founding father” ini. Mari menempatkan rasa kebangsaan sebagai kepentingan yang sangat besar (prioritizing the interests of the nation) demi keutuhan bangsa ini.
Akhirnya, selamat merayakan Idul Fitri 1441 H bagi saudaraku. Mohon maaf lahir dan Bathin. Horas....Horas....Horas...!
===
Penulis Dosen Tetap Prodi Administrasi Publik FISIP UHN Medan/ Mahasiswa S3 Manajemen Pendidikan Unimed.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]