Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Madu di tangan kananmu
Racun di tangan kirimu
Aku Tak tahu Mana
Yang akan kau berikan padaku
(Lagu “Madu dan Racun” oleh Arie Wibowo)
New normal itu rasanya mirip lagu “Madu dan Racun” yag diciptakan dan dipopulerkan oleh Arie Wibowo pada 1985. Disebut begitu, karena syahdan, new normal yang populer di era pandemi Covid-19 ini akan menyandingkan kehidupan ekonomi dan sosial dengan ancaman wabah virus corona.
Ya, bagaikan dua sisi mata uang yang berjalan seiringan. Perekonomian dibuka kembali, misalnya pusat perbelanjan, restoran, hotel dan sebagainya beroperasi lagi. Namun tetap melaksanakan protokol kesehatan untuk meminimalisir populasi Covid-19.
Siapapun yang keluar masuk ke wilayah perekonoman harus memakai masker. Mencuci tangan lebih dulu dengan sabun. Diperiksa suhu tubuhnya, hingga menjaga jarak antarmanusia (social distancing) dan berbagai protokol lainnya.
Berbagai wacana pun terdengar. Misalnya, kapasitas pengunjung mal dan restoran tidak full 100%. Ada yang bilang 50%, 40%, bahkan 35%. Secara bertahap, perlahan akan menaik manakala penularan corona semakin melandai hingga diharapkan pada waktunya terempas ke titik nol.
Bahkan, di dalam mal antrean konsumen di kasir dibatasi 10 orang yang masing-masing berjarak 1,5 meter. Akan ada pula batasan berapa orang customer di satu kios atau gerai.
Dengan jumlah pengunjung yang dibatasi itu, saya kira arus permintaan barang pun akan terbatas pula. Mau tak mau, hukum penawaran dan permintaan (the law of supply and demand) pun berbicara.
Dengan pembatasan pengunjung tersebut, logikanya, jumlah permintaan tidak menaik, malah menurun. Nah, jika jumlah penawaran tetap, maka harga akan turun. Akibatnya, titik ekuilibrium juga bergeser turun.
Sementara jika permintaan menaik dan penawaran tetap, maka harga akan menaik yang mengakibatkan titik ekuilibrium juga menaik.
Adapun ekuilibrium adalah keadaan yang menunjukkan baik konsumen maupun produsen telah menyetujui harga suatu barang. Inilah yang disebut dengan harga keseimbangan ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran.
Konsumen itu Raja
Nah, di sinilah persoalannya. Pembeli atau konsumen barangkali akan senang jika harga-harga turun. Tapi para pedagang, atau penjual akan mengeluh. Jika hanya 50 persen arus pengunjung, apalagi jika hanya 35 persen, bagaimana mereka bisa meraih margin atau keuntungan.
Padahal mereka harus membayar sewa kios atau gerai. Belum lagi gaji karyawan dan pajak-pajak yang harus dibayar. Syukur-syukur bisa menutup modal dan biaya operasional. Yang penting modal bisa bergulir seraya menunggu jumlah pengunjung memadai agar bisa meraih keuntungan.
Tapi jika pedagang malah menaikkan harga, tak peduli kepada hukum penawaran dan permintaan, wah. konsumen bisa menjadi tidak bergairah untuk berbelanja. Sudahlah jumlahnya dibatasi, malah bisa semakin menciut.
Konsumen atau pembeli memang secara teori akan aman dari penularan Covid-19 jika melaksanakan protokol kesehatan. Tapi bagaimana pun mereka akan merasa kurang nyaman. Bukankah, konsumen itu raja?
Tapi apa boleh buat, demi keamanan kesehatan harus rela mengikuti protokol kesehatan. Semoga mereka mempunyai kesadaran yang tinggi sehingga tidak kapok berbelanja, sehingga pada gilirannya tidak menyusutkan jumlah pengunjung.
Saya kira pelaksanaan protokol kesehatan harus ditata sedemikian rupa sehingga tetap menyenangkan para konsumen. Tidak repot, bisa cepat tidak bertele-tele dan tidak membosankan. Prinsip pelayanan yang ramah adalah instrumen bisnis yang penting.
Tentu saja protokol kesehatan pun sangat penting. Sebab jika diabaikan, alih-alih hendak menggerakkan perekonomian secara perlahan, sebelum tancap gas pada waktunya, malah membuat yang terjangkit Covid-19 semakin menaik.
Akhirulkalam, semoga “madu di tangan kananmu”-lah yang dipersembahkan oleh new normal. Bukan “racun di tangan kirimu.” Tabik!