Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Di tengah wabah virus corona krisis pangan mengancam Indonesia. Presiden Joko Widodo merujuk pada istilah ‘defisit pangan’ tatkala membahas potensi kelangkaan bahan makanan di berbagai provinsi akibat pandemi Covid-19, beberapa waktu lalu.
Ini sebetulnya menjadi sebuah paradoksal. Sebelumnya Direktur Utama Bulog, Budi Waseso menyebut bahwa bulan April dan Mei 2020 merupakan panen raya. Dengan demikian masyarakat tidak perlu khawatir terhadap persoalan ketersediaan pangan. Perbedaan informasi ini membawa memori publik kembali ke tahun 2019. Saat itu terjadi ketidakakuratan data pangan yang berakibat pada ketidakstabilan harga yang sangat merugikan para petani.
Dan belum lama ini pun, Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa, FAO (Food and Agricultural Organization) sudah memberi peringatan bahaya krisis pangan yang akan melanda dunia. Ancaman ini muncul sebagai dampak kebijakan isolasi wilayah dan penutupan akses transportasi yang diberlakukan secara masif di banyak negara.
Maksudnya begini. Produksi padi, sebagai komoditas makanan pokok di Indonesia melibatkan satu rangkaian proses yang tidak terpisahkan. Singkatnya, proses ini meliputi jejaring petani, sarana produksi, pengolahan setelah panen, distribusi dan logistik sampai kepada pedagang eceran. Bila sampai satu saja dari rangkaian ini terganggu akibat, katakanlah, PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) seperti yang diberlakukan di Indonesia, pasokan beras nasional akan mengalami gangguan serius.
Melihat situasi yang kurang menguntungkan, Presiden Joko Widodo berencana melakukan ekstensifikasi lahan. Sekitar 900 hektar lahan basah dan gambut di Kalimantan menjadi target untuk mencetak sawah-sawah baru. Dengan tambahan sawah-sawah baru itu, stok pangan diyakini akan aman.
Tapi, rencana ini bukan tanpa risiko. Jauh sebelum kepemimpinan Presiden Joko Widodo, upaya serupa pernah dilakukan di masa pemerintahan rezim orde baru. Saat itu Presiden Soeharto berupaya menuju swasembada beras. Melalui program ‘Lahan Gambut Sejuta Hektar’ dari periode tahun 1995 sampai 2001, hutan gambut diubah menjadi area persawahan.
Namun nyatanya program itu gagal total. Bukan cuma tidak berhasil mengukuhkan Indonesia sebagai negara swasembada beras, proyek itu juga mengakibatkan kerusakan ekologis. Dampaknya, kebakaran hutan pada musim kemarau dan banjir bandang pada musim hujan marak terjadi. Belum lagi, kerugian negara ketika itu mencapai angka 1,6 trilun rupiah.
Memberdayakan Pangan Alternatif
Mencetak sawah-sawah baru dengan mengorbankan lahan basah dan gambut selain memiliki efek destruktif pada lingkungan, pada saat yang sama semakin menyingkap tabir ketergantungan akut kita terhadap beras sebagai makanan pokok.
Padahal, negara ini kayak akan pangan lain. Sebut saja umbi-umbian seperti ubi kayu, ubi jalar, singkong, talas, gembili, sukun dan kentan serta palawija seperti jagung. Ada juga sagu yang lazim di temui di wilayah timur Indonesia. Selain mudah dibudidayakan, pangan-pangan alternatif ini justru memiliki kandungan gizi yang lebih baik daripada beras. Ilmu kedokteran, misalnya, merekomendasikan ubi atau jagung bagi orang-orang yang punya masalah berat badan karena asupan karbohidrat dari nasi yang dikonsumsi selama berpuluh-puluh tahun lamanya.
Ini penting. Urusan pangan tidak boleh disimplifikasi secara parsial sebatas persoalan komoditas. Kandungan nutrisi dan gizi pun harus menjadi skala prioritas. Bagaimana mungkin kita berharap generasi yang menjadi bagian dari bonus demografi negeri ini mampu berbicara banyak menuju Indonesia emas 2045 jika asupan makanannya tanpa gizi yang ideal?
Saya sepakat dengan tulisan esais Made Supriatma di akun media sosialnya. Beliau mengatakan kita tidak kekurangan pangan. Kita hanya kekurangan kemauan untuk makan yang kita punya. Betapa tidak, kita sudah begitu terbiasa dengan stigma Belum Kenyang Jika Belum Makan Nasi atau Belum Makan Jika Belum Makan Nasi. Padahal sebetulnya kita sudah menyantap berbagai asupan seperti kue, roti, dan sebagainya.
Vitalnya peran padi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia juga bisa dilihat dari eksistensi kata tersebut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Anda akan menemukan deretan lema yang berkaitan dengan kata padi seperti nasi, beras, ketan, pulut, gabah, lontong, dan lain-lain. Menariknya, bahasa lain seperti bahasa Inggris hanya punya padanan satu kata untuk istilah-istilah tadi: rice.
Ini tidak ada kaitannya dengan meratapi pilihan kakek dan nenek moyang kita dulu. Kesiapan stok pangan menjadi salah satu benteng pertahanan penting dalam menghadapi pandemi Covid-19. Dengan demikian kita harus benar-benar memperkuat sektor itu.
Peralihan ke pangan alternatif harus mendapatkan perhatian serius pemerintah khususnya pada sektor produksi dan distribusi. Selain itu, edukasi kepada masyarakat juga tidak kalah penting. Konsumsi umbi-umbian sebagai alternatif terhadap beras tidak boleh diasosiasikan dengan jatuh miskin, penurunan kasta kehidupan sosial dan narasi-narasi sejenis lainnya.
Kita sudah terlampau sering menjebak diri sendiri dengan cara-cara bepikir absurd yang dibumbuhi oleh prestige. Lihat saja bagaimana kita memperlakukan kentang goreng dengan french fries secara diskriminatif.
Dengan rasa yang sama enak dan kualitas yang tidak berbeda, french fries bersemayam di tempat-tempat terhormat seperti kafe-kafe modern, mall-mall, hotel berbintang dan lain-lain. Harganya lebih mahal dan menjadi cemilan orang-orang kaya. Sementara kentang goreng dipandang sebelah mata. Harganya lebih murah, dikonsumsi masyarakat kelas menengah ke bawah dan dijumpai di warun-warung tepi jalan. Padahal bedanya hanya pada penyematan nama semata.
Ketimbang melakukan ekstensifikasi lahan, akan jauh lebih baik bila pemerintah fokus mendorong diversifikasi pangan. Sudah saatnya transisi ke alternatif pangan-pangan potensial menjadi aksentuasi demi terwujudnya ketahanan pangan terutama selama masa pandemi Covid-19.
===
Penulis adalah kolumnis lepas, dosen STIE Eka Prasetya dan guru SMP/SMA Sutomo 2 Medan
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]