Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Hidup berdampingan dengan Covid-19, bukan berarti saling mesra. Tapi saling mengintai. Bahkan saling kuat-kuatan. Siapa kuat dia berkuasa.
Mari kita coba memahaminya dengan menggunakan anaisis SWOT. Seperti diketahui SWOT adalah singkatan dari strengths (kekuatan), weakness (kelemahan), opportunities (peluang), dan threats (ancaman).
Jika trengths dan weakness berasal dari internal, maka oportunities dan threats adalah hal eksternal. Analisis ini diperlukan sebelum kita, katakanlah sebuah daerah, hendak memberlakukan new normal.
Kekuatan kita – dalam hal ini adalah masyarakat, infrastruktur kesehatan dan aparatur pemerintah. Kita harus jujur, apakah masyarakat sudah benar-benar mematuhi protokol kesehatan dalam melawan corona. Tidak setengah-setengah. Tapi sistemik dan massif.
Bagaimana pula dengan kondisi infrastruktur kesehatan. Apakah jumlah rumah sakit rujukan sudah memadai. Bagaimana dengan jumlah dokter, perawat dan tenaga medis yang dibutuhkan. Begitu juga dengan APD (alat pelindung diri) hingga peralatan untuk tes Covid-19.
Apakah juga aparatur pemerintah bisa memastikan pengawasan terhadap masyarakat hingga maksimal melaksanakan protokol kesehatan.
Jawaban-jawaban atas pertanyaan ini harus : ya. Bahwa semua dalam kondisi “siap berperang.” Tidak ada celah-celah kelemahan sama sekali. Sebab jika jaabannya “belum”atau bahkan “tidak”, maka semua kondisi tersebut berubah menjadi weakness (kelemahan). Tak ayal, alamat kita akan menjadi sasaran empuk dari Covid-19.
Faktor threats pun harus dilihat. Apakah tren jumlah mereka yang terjangkit corona semakin menaik, atau melandai. Demikian juga dengan angka PDP (pasien dalam pengawasan) maupun ODP (orang dalam pemantauan). Menaikkah atau melandai, perlu dideteksi.
Sebab jika faktor tantangan ini belum menggembirakan, itu menunjukkan bahwa kekuatan kita masih lemah. Belum mampu untuk hidup berdampingan dengan Covid-19. Bahkan bisa menjadi bumerang. Populasi corona bisa semakin menjadi-jadi, sehingga kita kewalahan, bakan kalah dalam “pertempuran”. Opportinities untuk memenangkan “pertempuran” pun hanya mimpi.
Saya kira, jika demikian keadaanya, kebijakan untuk memberlakukan new normal sama dengan “bunuh diri.” Daripada hendak “gagah-gagahan” lebih baik urungkanlah. Kecuali semua faktor menunjukkan “ya”, bolehlah memasuki new normal. Tabik!