Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
SEORANG pria yang memiliki warna kulit hitam dicurigai menggunakan uang palsu ketika sedang membeli rokok. Kemudian penjual tersebut menghubungi petugas polisi untuk melaporkan hal tersebut. Petugas polisi berkulit putih kemudian datang dan menangkap pria tersebut. Namun kemudian polisi melakukan hal yang tidak wajar. Pria tersebut tidak langsung dibawa ke kantor polisi tetapi polisi malah menghimpit leher pria berwarna kulit hitam tersebut dengan lututnya sehingga sulit untuk bernafas. Berkali-kali pria kulit hitam itu memohon kepada polisi tersebut untuk menghentikan tindakannya karena ia merasa sesak dan tidak bisa bernafas, namun tidak digubris. Hingga akhirnya pria kulit hitam tersebut meninggal.
Pria kulit hitam tersebut bernama George Floyd. Kematiannya menimbulkan aksi demonstrasi eksplosif baru-baru ini di Amerika Serikat dan melebar hingga keseluruh dunia. Para demonstran menyuarakan tentang rasisme yang terjadi terhadap orang kulit hitam. Mereka menentang kematian Goerge Floyd tersebut. Tagar #blacklivesmatter yang artinya nyawa orang kulit hitam berarti kembali muncul di berbagai media sosial. Tagar #blacklivesmatter itu sebenarnya telah ada sejak tahun 2013. Sebuah gerakan yang dimulai oleh komunitas Afrika Amerika. Gerakan ini berupaya menentang tindakan rasisme terkhususnya terhadap orang kulit hitam.
Rasisme di Mana Saja
Rasisme memang dapat terjadi di belahan dunia manapun, termasuk Indonesia. Tak lama setelah munculnya tagar #blacklivesmatter, di Indonesia, tagar #papualivesmatter juga muncul di berbagai media sosial. Peristiwa ini mengingatkan masyarakat Indonesia atas tindakan rasisme terhadap orang Papua yang sering terjadi di Indonesia. Misalnya tindakan rasisme yang terjadi di Surabaya pada bulan Agustus 2019. Asrama mahasiswa asal Papua di Surabaya dikerumuni oleh massa dari organisasi masyarakat dan para aparat polisi serta TNI. Hal ini berawal dari adanya dugaan pengrusakan Bendera Merah Putih. Massa mencurigai bahwa pelakunya adalah para mahasiswa tersebut. Tanpa bukti yang jelas, massa malah beramai-ramai melakukan aksi di depan asrama hingga keluar kata-kata rasis yang dilontarkan kepada para mahasiswa tersebut.
Tetapi di Indonesia, korban rasisme di Indonesia tidak hanya terjadi pada orang Papua. Sejarah juga mencatat tindakan rasisme yang mengerikan terjadi terhadap suku Tionghoa pada akhir masa orde baru. Kerusuhan yang terjadi pada 1998 untuk menurunkan Soeharto ketika itu berimbas kepada suku Tionghoa. Massa yang beringas menjadikan suku Tionghoa sebagai sasaran untuk melampiaskan kebencian kepada pemerintah. Rumah dan toko suku Tionghoa dijarah dan dibakar. Penganiayaan, pelecehan dan pemerkosaan terhadap perempuan suku Tionghoa terjadi di mana-mana.
Kedua hal ini menyatakan bahwa tindakan rasisme di Indonesia bukan suatu hal yang baru. Tetapi telah ada sejak lama di dalam masyarakat Indonesia. Tindakan rasisme terjadi ketika sekelompok orang merasa lebih superior dari orang lain. Padahal, Indonesia ini terdiri dari beragam suku, budaya, bahasa dan agama. Bayangkan jika, contohnya, setiap suku merasa bahwa sukunya lebih baik dari suku yang lain dan kemudian merendahkan suku yang lain. Hal ini tentunya akan menimbulkan kekacauan.
Begitu berurat-akarnya rasisme ini, maka di dalam kehidupan sehari-hari kemudian berkembang lelucon yang kemudian berbau rasisme. Kalimat “sumber air sudah dekat” yang sering dilontarkan kepada orang Papua atau kata-kata “aseng” kepada orang suku Tionghoa adalah sejumlah sterotipe yang berkembang di tengah masyarakat. Tak mudah menghilangkannya karena telah dipraktikkan oleh masyarakat. Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998, yang melarang istilah pribumi dan nonpribumi justru sering dinarasikan ulang oleh banyak pihak, termasuk tokoh-tokoh politik.
Dampak dari tindakan rasisme ini sangat besar. Lihat saja kasus George Flyod. Ia menjadi korban dari perilaku rasisme yang telah berurat-akar pula di negeri yang katanya kampium demokrasi tersebut. Perilaku rasisme terhadap orang berkulit hitam memang erat kaitannya dengan sejarah perbudakan yang mewarnai kehidupan bangsa Amerika. Dan, akibat rasisme di Indonesia sudah jelas, sebagaimana disampaikan di atas tadi.
Cegah
Darimana tindakan rasisme ini bermula? Saya berpendapat bahwa hal yang menyebabkan tindakan rasisme bermula pertama-tama adalah diri kita sendiri. Kita cenderung selalu menilai dan membandingkan. Kita gagal melihat perbedaan sebagai suatu hal yang indah. Jika kita melihat warna kulit hitam kemudian kita akan membandingkannya dengan warna kulit yang putih. Begitu juga dengan orang yang memiliki suara keras, akan kita bandingkan dengan orang yang memiliki suara halus. Kita secara tidak sengaja selalu mencari mana yang lebih baik. Sehingga perasaan lebih superior perlahan-lahan muncul tanpa kita sadari. Padahal pada kenyataannya keduanya sama baik dan kita tidak perlu membandingkannya.
Kedua adalah lingkungan. Lingkungan menanamkan nilai tersebut dengan sendirinya. Mereka yang terbiasa hanya bergaul dengan satu kelompok, akan hidup menurut cara berpikir kelompok tersebut dan memandang orang lain sebagai “berbeda”. Apalagi jika dalam kelompok tersebut, terbiasa melakukan tindakan rasisme. Hal ini akan menimbulkan kebencian yang absolut dan tak mau menerima kehadiran pihak lain.
Jadi bagaimana mencegah tindakan rasisme ini terjadi? Pertama kita harus bisa memandang bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama dan tidak ada yang lebih dari yang lain. Setiap manusia memiliki keunikannya sendiri. Dengan memiliki pandangan seperti ini, maka kita mampu untuk menghargai antara satu dengan yang lain tanpa harus membandingkannya.
Kedua, bertemanlah dengan banyak orang yang memiliki perbedaan dengan diri kita. Karena manusia cenderung selalu menilai bahkan pada pandangan pertama. Kita sudah memiliki penilaian terhadap seseorang tanpa mengenalnya lebih dalam. Namun pada kenyataannya penilaian tersebut tidak selalu benar. Jadi untuk mengetahui apakah pandangan kita benar atau tidak adalah dengan mempelajari pandangan yang berbeda langsung.
Ketiga, adalah dengan menanamkan nilai keberagaman sejak dini oleh orang tua. Tidak dapat dipungkiri jika nilai-nilai kehidupan sering sekali ditanamkan oleh lingkungan kita. Tetapi kita harus mengerti bahwa lingkungan pertama kita adalah rumah. Sebagian besar nilai yang tertanam dalam diri kita berasal dari rumah. Jika sejak dini orang tua telah kuat menanamkan nilai keberagaman kepada kita maka seburuk apapun lingkungan diluar rumah mengajarkan tentang rasisme tidak akan berpengaruh kepada kita.
Jadi sebenarnya tindakan rasisme dapat dicegah dimulai dari diri kita sendiri dan kemudian orang-orang disekitar kita. Semakin kita menghargai keberagaman maka tindakan rasisme semakin berkurang. Jangan sampai Indonesia terbakar karena rasisme.
===
Penulis alumni Universitas Sumatera Utara dan aktif di Perkamen (Perhimpunan Suka Menulis)
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]